Kamis, 30 Juni 2011

BALANCE CAIRAN

Cara menghitung balance cairan
• RUMUS BALANCE
CAIRAN MASUK - CAIRAN KELUAR - IWL
• RUMUS IWL
--> (15 X BB X JAM KERJA) / 24 JAM
• RUMUS IWL KENAIKAN SUHU
[(10% X CM) X jumlah kenaikan suhu] / 24 JAM + IWL Normal

JENIS-JENIS CAIRAN INFUS

JENIS-JENIS CAIRAN INFUS
ASERING
Indikasi:
Dehidrasi (syok hipovolemik dan asidosis) pada kondisi: gastroenteritis akut, demam berdarah dengue (DHF), luka bakar, syok hemoragik, dehidrasi berat, trauma.
Komposisi:
Setiap liter asering mengandung:
- Na 130 mEq
- K 4 mEq
- Cl 109 mEq
- Ca 3 mEq
- Asetat (garam) 28 mEq
Keunggulan:
* Asetat dimetabolisme di otot, dan masih dapat ditolelir pada pasien yang mengalami gangguan hati

* Pada pemberian sebelum operasi sesar, RA mengatasi asidosis laktat lebih baik dibanding RL pada neonatus

* Pada kasus bedah, asetat dapat mempertahankan suhu tubuh sentral pada anestesi dengan isofluran

* Mempunyai efek vasodilator

* Pada kasus stroke akut, penambahan MgSO4 20 % sebanyak 10 ml pada 1000 ml RA, dapat meningkatkan tonisitas larutan infus sehingga memperkecil risiko memperburuk edema serebral.

KA-EN 1B
Indikasi:
* Sebagai larutan awal bila status elektrolit pasien belum diketahui, misal pada kasus emergensi (dehidrasi karena asupan oral tidak memadai, demam)
* < 24 jam pasca operasi * Dosis lazim 500-1000 ml untuk sekali pemberian secara IV. Kecepatan sebaiknya 300-500 ml/jam (dewasa) dan 50-100 ml/jam pada anak-anak * Bayi prematur atau bayi baru lahir, sebaiknya tidak diberikan lebih dari 100 ml/jam KA-EN 3A & KA-EN 3B Indikasi: * Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan harian air dan elektrolit dengan kandungan kalium cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan asupan oral terbatas * Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam)
* Mensuplai kalium sebesar 10 mEq/L untuk KA-EN 3A
* Mensuplai kalium sebesar 20 mEq/L untuk KA-EN 3B

KA-EN MG3
Indikasi :
* Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan harian air dan elektrolit dengan kandungan kalium cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan asupan oral terbatas
* Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam)
* Mensuplai kalium 20 mEq/L
* Rumatan untuk kasus dimana suplemen NPC dibutuhkan 400 kcal/L

KA-EN 4A
Indikasi :
* Merupakan larutan infus rumatan untuk bayi dan anak
* Tanpa kandungan kalium, sehingga dapat diberikan pada pasien dengan berbagai kadar konsentrasi kalium serum normal
* Tepat digunakan untuk dehidrasi hipertonik
Komposisi (per 1000 ml):

• Na 30 mEq/L
• K 0 mEq/L
• Cl 20 mEq/L
• Laktat 10 mEq/L
• Glukosa 40 gr/L
KA-EN 4B
Indikasi:
* Merupakan larutan infus rumatan untuk bayi dan anak usia kurang 3 tahun
* Mensuplai 8 mEq/L kalium pada pasien sehingga meminimalkan risiko hipokalemia
* Tepat digunakan untuk dehidrasi hipertonik

Komposisi:
- Na 30 mEq/L
- K 8 mEq/L
- Cl 28 mEq/L
- Laktat 10 mEq/L
- Glukosa 37,5 gr/L

Otsu-NS
Indikasi:
- Untuk resusitasi
- Kehilangan Na > Cl, misal diare
- Sindrom yang berkaitan dengan kehilangan natrium (asidosis diabetikum, insufisiensi adrenokortikal, luka bakar)
Otsu-RL
Indikasi
- Resusitasi
- Suplai ion bikarbonat
- Asidosis metabolik
MARTOS-10
Indikasi:
- Suplai air dan karbohidrat secara parenteral pada penderita diabetik
- Keadaan kritis lain yang membutuhkan nutrisi eksogen seperti tumor, infeksi berat, stres berat dan defisiensi protein
- Dosis: 0,3 gr/kg BB/jam
- Mengandung 400 kcal/L

AMIPAREN
Indikasi:
- Stres metabolik berat
- Luka baker
- Infeksi berat
- Kwasiokor
- Pasca operasi
- Total Parenteral Nutrition
- Dosis dewasa 100 ml selama 60 menit

AMINOVEL-600
Indikasi:
- Nutrisi tambahan pada gangguan saluran GI
- Penderita GI yang dipuasakan
- Kebutuhan metabolik yang meningkat (misal luka bakar, trauma dan pasca operasi)
- Stres metabolik sedang
- Dosis dewasa 500 ml selama 4-6 jam (20-30 tpm)
-
PAN-AMIN G
Indikasi:
- Suplai asam amino pada hiponatremia dan stres metabolik ringan
- Nitrisi dini pasca operasi
- Tifoid

Tambahan
Jenis-jenis Cairan Intravena
1. Cairan bisa bersifat isotonis (contohnya ; NaCl 0,9 %, Dekstrosa 5 % dalam air, Ringer laktat / RL, dll)
2. Cairan bisa bersifat hipotonis (contohnya ; NaCl 5 %)
3. Cairan bisa bersifat hipertonis (contohnya ; Dekstrosa 10 % dalam NaCl, Dektrosa 10 % dalam air, Dektrosa 20 % dalam air)

ASKEP ANGINA PECTORIS

PENGERTIAN ANGINA PECTORIS

Angina pektoris adalah nyeri dada yang ditimbulkan karena iskemik miokard dan bersifat sementara atau reversibel. (Dasar-dasar keperawatan kardiotorasik, 1993)
Angina pektoris adalah suatu sindroma kronis dimana klien mendapat serangan sakit dada yang khas yaitu seperti ditekan, atau terasa berat di dada yang seringkali menjalar ke lengan sebelah kiri yang timbul pada waktu aktifitas dan segera hilang bila aktifitas berhenti. (Prof. Dr. H.M. Sjaifoellah Noer, 1996)
Angina pektoris adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan jenis rasa tidak nyaman yang biasanya terletak dalam daerah retrosternum. (Penuntun Praktis Kardiovaskuler)

ETIOLOGI ANGINA PECTORIS

Ateriosklerosis
Spasme arteri koroner
Anemia berat
Artritis
Aorta Insufisiensi

FAKTOR-FAKTOR RESIKO ANGINA PECTORIS

Faktor resiko antara lain adalah:

Dapat Diubah (dimodifikasi)
Diet (hiperlipidemia)
Rokok
Hipertensi
Stress
Obesitas
Kurang aktifitas
Diabetes Mellitus
Pemakaian kontrasepsi oral
Tidak dapat diubah
Usia
Jenis Kelamin
Ras
Herediter
Kepribadian tipe A

PENCETUS ANGINA PECTORIS

Faktor pencetus yang dapat menimbulkan serangan antara lain:

Emosi
Stress
Kerja fisik terlalu berat
Hawa terlalu panas dan lembab
Terlalu kenyang
Banyak merokok

GAMBARAN KLINIS ANGINA PECTORIS

Gambaran klinis angina pektoris antara lain:

Nyeri dada substernal atau retrosternal menjalar ke leher, tenggorokan daerah inter skapula atau lengan kiri.
Kualitas nyeri seperti tertekan benda berat, seperti diperas, terasa panas, kadang-kadang hanya perasaan tidak enak di dada (chest discomfort).
Durasi nyeri berlangsung 1 sampai 5 menit, tidak lebih dari 30 menit.
Nyeri hilang (berkurang) bila istirahat atau pemberian nitrogliserin.
Gejala penyerta : sesak nafas, perasaan lelah, kadang muncul keringat dingin, palpitasi, dizzines.
Gambaran EKG : depresi segmen ST, terlihat gelombang T terbalik.
Gambaran EKG seringkali normal pada waktu tidak timbul serangan.

TIPE SERANGAN

Tipe serangan Angina Pectoris:

Angina Pektoris Stabil
Awitan secara klasik berkaitan dengan latihan atau aktifitas yang meningkatkan kebutuhan oksigen miokard.
Nyeri segera hilang dengan istirahat atau penghentian aktifitas
Durasi nyeri 3 – 15 menit.
Angina Pektoris Tidak Stabil
Sifat, tempat dan penyebaran nyeri dada dapat mirip dengan angina pektoris stabil.
Durasi serangan dapat timbul lebih lama dari angina pektoris stabil.
Pencetus dapat terjadi pada keadaan istirahat atau pada tigkat aktifitas ringan.
Kurang responsif terhadap nitrat.
ST. depresi segmen lebih sering ditemukan
Dapat disebabkan oleh ruptur plak aterosklerosis, spasmus, trombus atau trombosit yang beragregasi.
Angina Prinzmental (Angina Varian)
Sakit dada atau nyeri timbul pada waktu istirahat, seringkali pagi hari.
Nyeri disebabkan karena spasmus pembuluh koroner aterosklerotik.
EKG menunjukkan elevaasi segmen ST.
Cenderung berkembang menjadi infark miokard akut.
Dapat terjadi aritmia.

PATOFISIOLOGI DAN PATHWAYS ANGINA PECTORIS

Mekanisme timbulnya angina pektoris didasarkan pada ketidak adekuatan suplay oksigen ke sel-sel miokardium yang diakibatkan karena kekakuan arteri dan penyempitan lumen arteri koroner (ateriosklerosis koroner). Tidak diketahui secara pasti apa penyebab ateriosklerosis, namun jelas bahwa tidak ada faktor tunggal yang bertanggungjawab atas perkembangan ateriosklerosis.

Ateriosklerosis merupakan penyakir arteri koroner yang paling sering ditemukan. Sewaktu beban kerja suatu jaringan meningkat, maka kebutuhan oksigen juga meningkat. Apabila kebutuhan meningkat pada jantung yang sehat maka artei koroner berdilatasi dan megalirkan lebih banyak darah dan oksigen keotot jantung.

Namun apabila arteri koroner mengalami kekauan atau menyempit akibat ateriosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan akan oksigen, maka terjadi iskemik (kekurangan suplai darah) miokardium.

Angina Pectoris Adanya endotel yang cedera mengakibatkan hilangnya produksi No (nitrat Oksida yang berfungsi untuk menghambat berbagai zat yang reaktif. Dengan tidak adanya fungsi ini dapat menyababkan otot polos berkontraksi dan timbul spasmus koroner yang memperberat penyempitan lumen karena suplai oksigen ke miokard berkurang.

Penyempitan atau blok ini belum menimbulkan gejala yang begitu nampak bila belum mencapai 75 %. Bila penyempitan lebih dari 75 % serta dipicu dengan aktifitas berlebihan maka suplai darah ke koroner akan berkurang.

Sel-sel miokardium menggunakan glikogen anaerob untuk memenuhi kebutuhan energi mereka. Metabolisme ini menghasilkan asam laktat yang menurunkan pH miokardium dan menimbulkan nyeri. Apabila kenutuhan energi sel-sel jantung berkurang, maka suplai oksigen menjadi adekuat dan sel-sel otot kembali fosforilasi oksidatif untuk membentuk energi. Proses ini tidak menghasilkan asam laktat. Dengan hilangnya asam laktat nyeri akan reda.
DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL PADA ANGINA PECTORIS

Nyeri akut berhubungan dengan iskemik miokard.
Intoleransi aktifitas berhubungan dengan berkurangnya curah jantung.
Ansietas berhubungan dengan rasa takut akan ancaman kematian yang tiba-tiba.
Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kodisi, kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi

FOKUS INTERVENSI ANGINA PECTORIS

Nyeri akut berhubungan dengan iskemik miokard.
Intervensi :
Kaji gambaran dan faktor-faktor yang memperburuk nyeri.
Letakkan klien pada istirahat total selama episode angina (24-30 jam pertama) dengan posisi semi fowler.
Observasi tanda vital tiap 5 menit setiap serangan angina.
Ciptakanlingkunan yang tenang, batasi pengunjung bila perlu.
Berikan makanan lembut dan biarkan klien istirahat 1 jam setelah makan.
Tinggal dengan klien yang mengalami nyeri atau tampak cemas.
Ajarkan tehnik relaksasi dan distraksi
Kolaborasi pengobatan.
Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kurangnya curah jantung.
Intervensi :
Pertahankan tirah baring pada posisi yang nyaman.
Berikan periode istirahat adekuat, bantu dalam pemenuhan aktifitas perawatan diri sesuai indikasi.
Catat warna kulit dan kualittas nadi.
Tingkatkan katifitas klien secara teratur.
Pantau EKG dengan sering.
Ansietas berhubungan dengan rasa takut akan ancaman kematian yang tiba-tiba.
Intervensi :
Jelaskan semua prosedur tindakan.
Tingkatkan ekspresi perasaan dan takut.
Dorong keluarga dan teman utnuk menganggap klien seperti sebelumnya.
Beritahu klien program medis yang telah dibuat untuk menurunkan serangan jantung dan meningkatkan stabilitas jantung
Kolaborasi.
Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi
Intervensi :
Tekankan perlunya mencegah serangan angina.
Dorong untuk menghindari faktor/situasi yang sebagai pencetus episode angina.
Kaji pentingnya kontrol berat badan, menghentikan kebiasaan merokok, perubahan diet dan olah raga.
Tunjukkan/ dorong klien untuk memantau nadi sendiri selama aktifitas, hindari tegangan.
Diskusikan langkah yang diambil bila terjadi serangan angina.
Dorong klien untuk mengikuti program yang telah ditentukan.

DAFTAR PUSTAKA ANGINA PECTORIS

Corwin, Elizabeth, Buku Saku Patofisiologi, Jakarta, EGC, 2000.
Chung, EK, Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskuler, Jakarta, EGC, 1996
Doenges, Marylinn E, Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta, EGC, 1998
Engram, Barbara, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah volume 2, Jakarta, EGC, 1998
Long, C, Barbara, Perawatan Medikal Bedah 2, Bandung, IAPK, 1996
Noer, Sjaifoellah, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta, FKUI, 1996
Price, Sylvia Anderson, Patofisiologi Buku I Jakarta, EGC, 1994
……., Dasar-dasar Keperawatan Kardiotorasik (Kumpulan Bahan Kuliah edisi ketiga),Jakarta : RS Jantung Harapan Kita, 1993.
Tucker, Susan Martin, Standar Perawatan Pasien Volume I, Jakarta, EGC, 1998
Underwood, J C E, Pathologi Volume 1 , Jakarta, EGC, 1999


Read more: Askep Angina Pectoris

EKG

E K G

Pemasangan elektroda

Merah = lengan kanan

Kuning = lengan kiri

Hijau = tungkai kanan

Hitam = tungkai kiri


PEMBACAAN HASIL EKG

1 kotak kecil = 0,04 detik

laju QRS frekuensi 60 – 100 x mnt, kurang dari 60= bradikardi, lebih dari 60 = takikardi


GELOMBANG NORMAL

P = Tegak (+), di I,II, Av1, V2-6 dan terbalik di Av1, mungkin terbalik di III, Av1,v1

Q = q kecil di I, II, AVF, V4-6, durasi 0,03 detik tinggi ¼ R,ukuran bervariasi di AVR

Q besar dengan durasi 0,4 detik di III, abnormal di AVF dan III ( harus diagnosa), Q besar di AVL normal

QS = Semua negative kecuali di V1-2

R = Terbesar di I, V4-6

S = S dominant di V1-3, keciol dan progresif di V3-6,S mungkin ditemukan di I,II

T = Tegak di I,II, AVF, V2-6 terbalik di AVR, mungkin terbalik di III, AVL,V1

U = Tidak terlihat, sering terlihat terbalik di V2-4


GELOMBANG EKG PATOLOGI

  • HYPERTROPI ATRIUM KIRI = P lebar, tegak dan bertakik di V4-6
  • HYPERTROPI ATRIUM KANAN = P tinggi > 2,5 mm, runcing di II,III, AVF
  • HYPERTROPI VENTRIKEL KIRI = R(I) dan S(III) . 2,6 mm, R pada AVL > 11 mm, R pada V1-5 > 52,6 mm, S pada V1+R pada V5 atau V6>3,5 mm, depresi ST, inverse 1, interval QRS antara 0,1 – 0,12
  • HYPERTROPI VENTRIKEL KANAN = R tinggi di V1 > 5 mm,R:s pada V1>1mm, depresi ST, T terbalik pasa V1-3
  • ISKEMIA MIOKARD = depresi ST . 1mm, horizontal dan menurun
  • INFARK MIOKARD = elevasi ST > 1mm, T besar dan tegak lurus, setelah 1-3 hari T terbalik dan timbul Q yang abnormal yang menandakan infark transient, durasi Q <0>

Anterior kealinan di sandapan V2-4

Inferior kealinan di AVF

Lateral kelainan pada I, V6

Posterior kelainan jika R yang tinggi, T tegak pada V1-2

· PERIKARIDTIS = elevasi ST di semua sadapan kecuali AVR,AVL,V1,V2 dan T terbalik

· HIPERKALEMIA = T tinggi ramping dan runcing, P hilang, QRS melebar, takikardi ventrikel

· HIPOKALEMIA = depresi ST, T rendah, U besar di V2-4, U:T rasio > 1,0 mm

· HYPERKALSEMIA = interval Q-T memendek, T terdapat pada akhir QRS

· HYPOKALSEMIA = ST,QT memanjang

REFLEKS

REFLEKS

TINGKAT KESADARAN

1. KOMPOS MENTIS

Sadar penuh dan keadaan normal

2. SOMNOLEN

Keadaan mengantuk dan kesadaran dapat pulih bila dirangsang, ditandai dengan mudahnya klien dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsangan nyeri

3. SOPOR

Kantuk dalam, klien dapat dibangunkan dengan rangsangan yang kuet, namun kesadaran segera menurun, klien dapat melaksanakan instruksi singkatdan masih terlihat gerakan spontan dengan rangsangan nyeri, klien tidak dapat diabngunkan dengan sempurna, jawaban verbal tidak ada, tangkisan nyeri masih baik

4. KOMA RINGAN/SEMI KOMA

Tidak ada respon verbal, reflek masih baik, gerakan timbul saat ada rangsang nyeri dan tidak terorganisir, tidak dapat dibangunkan.

REFLEKSIOLOGI

q Reflek kornea

Dengan cara menyentuhkan kapas pada limbus, hasil positif bila mengedip

(N IV & VII )

q Reflek faring

Faring digores dengan spatel, reaksi positif bila ada reaksi muntahan

( N IX & X )

q Reflek Abdominal

Menggoreskan dinidng perut dari lateral ke umbilicus, hasil negative pada orang

Tua, wanita multi para, obesitas, hasil positif bila terdapat reaksi otot

q Reflek Kremaster

Menggoreskan paha bagian dalam bawah, positif bila skrotum sisi yang sama

Naik / kontriksi ( L 1-2 )

q Reflek Anal

Menggores kulit anal, positif bila ada kontraksi spincter ani ( S 3-4-5 )

q Reflek Bulbo Cavernosus

Tekan gland penis tiba-tiba jari yang lain masukkan kedalam anus, positif bila

kontraksi spincter ani (S3-4 / saraf spinal )

q Reflek Bisep ( C 5-6 )

q Reflek Trisep ( C 6,7,8 )

q Reflek Brachioradialis ( C 5-6 )

q Reflek Patela ( L 2-3-4 )

q Reflek Tendon Achiles ( L5-S2)

q Reflek Moro

Reflek memeluk pada bayi saat dikejutkan dengan tangan

q Reflek Babinski

Goreskan ujung reflak hammer pada lateral telapak kaki mengarah ke jari, hasil

positif pada bayi normal sedangkan pada orang dewasa abnormal ( jari kaki

meregang / aduksi ektensi )

q Sucking reflek

Reflek menghisap pada bayi

q Grasping reflek

Reflek memegang pada bayi

q Rooting reflek

Bayi menoleh saat tangan ditempelkan ke sisi pipi


REFLEK PATOLOGIS

q Reflek Hoffman – Tromer

Jari tengah klien diekstensikan, ujungnya digores, positif bila ada gerakan fleksi pada

Jari lainnya

q Reflek Jaw

Kerusakan kortikospinalis bilateral, eferen dan aferennya nervous trigeminus, dengan

Mengertuk dagu klien pada posisi mulut terbuka, hasil positif bila mulut terkatup

q Reflek regresi

Kerusakan traktus pirimidalis bilateral / otak bilateral

q Reflek Glabella

Mengetuk dahi diantara kedua mata, hasilnya positif bila membuat kedua mata klien

Tertutup

q Reflek Snout

Mengutuk pertengahan bibir atas, positif bila mulutnya tercucur saliva

q Reflek sucking

Menaruh jari pada bibir klien, positif bila klien menghisap jari tersebut

q Reflek Grasp

Taruh jari pada tangan klien, positif bila klien memegangnya

q Reflek Palmomental

Gores telapak tangan didaerah distal, positif bila otot dagu kontraksi

q Reflek rosolimo

Ketuk telapak kaki depan, positif bila jari kaki ventrofleksi

q Reflek Mendel Bechterew

Mengetuk daerah dorsal kaki2 sebelah depan,positif bila jari kaki ventrofleksi

q Tes rangsang meningeal

q Nuchal rigidity

Klien tanpa bantal fleksikan leher ke lateral, lalu fleksikan leher mendekati dagu,

hasil positif bila ada tahanan dan nyeri

q Kernig

Fleksikan panggul dengan sudut 90 derajat, ekstensikan tungkai bawah pada

persendian lutut, positif bila ada tahanan dan rasa sakit sebelum mencapai

ekstensi maksimal

q Brudzinski I,II

Bila pada saat fleksi leher lutut ikut fleksi juga brudzinski I positif, brudzinski II : satu tungkai lain diekstensikan pada persendian panggul, tungkai lain diekstensikan, positif bila tungkai yang ekstensi ikut fleksi

Rabu, 29 Juni 2011

58 LANGKAH PERSALINAN NORMAL

Persalinan merupakan proses fisiologis yang tidak akan habis sejalan dengan kelangsungan hidup manusia di muka bumi ini. Asuhan Persalinan Normal (APN) disusun dengan tujuan terlaksananya persalinan dan pertolongan pada persalinan normal yang baik dan benar, target akhirnya adalah penurunan angka motalitas ibu dan bayi di Indonesia. Pada awalnya APN terdiri dari 60 Langkah, namun setelah direvisi menjadi 58 Langkah, sebagai berikut :
  1. Mendengar dan melihat adanya tanda persalinan kala dua.
  2. Memastikan kelengkapan alat pertolongan persalinan termasuk mematahkan ampul oksitosin dan memasukan alat suntik sekali pakai 2½ ml ke dalam wadah partus set.
  3. Memakai celemek plastik.
  4. Memastikan lengan tidak memakai perhiasan, mencuci tangan degan sabun dan air mengalir.
  5. Menggunakan sarung tangan DTT pada tangan kanan yang akan digunakan untuk pemeriksaan dalam.
  6. Mengambil alat suntik dengan tangan yang bersarung tangan, isi dengan oksitosin dan letakan kembali ke dalam wadah partus set.
  7. Membersihkan vulva dan perineum dengan kapas basah dengan gerakan vulva ke perineum.
  8. Melakukan pemeriksaan dalam (pastikan pembukaan sudah lengkap dan selaput ketuban sudah pecah).
  9. Mencelupkan tangan kanan yang bersarung tangan ke dalam larutan klorin 0,5%, membuka sarung tangan dalam keadaan terbalik dan merendamnya dalam larutan klorin 0,5%.
  10. Memeriksa denyut jantung janin setelah kontraksi uterus selesai (pastikan DJJ dalam batas normal (120 – 160 x/menit)).
  11. Memberi tahu ibu pembukaan sudah lengkap dan keadaan janin baik, meminta ibu untuk meneran saat ada his apabila ibu sudah merasa ingin meneran.
  12. Meminta bantuan keluarga untuk menyiapkan posisi ibu untuk meneran (pada saat ada his, bantu ibu dalam posisi setengah duduk dan pastikan ia merasa nyaman.
  13. Melakukan pimpinan meneran saat ibu mempunyai dorongan yang kuat untuk meneran.
  14. Menganjurkan ibu untuk berjalan, berjongkok atau mengambil posisi nyaman, jika ibu belum merasa ada dorongan untuk meneran dalam 60 menit.
  15. Meletakan handuk bersih (untuk mengeringkan bayi) di perut ibu, jika kepala bayi telah membuka vulva dengan diameter 5 – 6 cm.
  16. Meletakan kain bersih yang dilipat 1/3 bagian bawah bokong ibu
  17. Membuka tutup partus set dan memperhatikan kembali kelengkapan alat dan bahan,
  18. Memakai sarung tangan DTT pada kedua tangan.
  19. Saat kepala janin terlihat pada vulva dengan diameter 5 – 6 cm, memasang handuk bersih untuk mengeringkan janin pada perut ibu.
  20. Memeriksa adanya lilitan tali pusat pada leher janin
  21. Menunggu hingga kepala janin selesai melakukan putaran paksi luar secara spontan.
  22. Setelah kepala melakukan putaran paksi luar, pegang secara biparental. Menganjurkan kepada ibu untuk meneran saat kontraksi. Dengan lembut gerakan kepala ke arah bawah dan distal hingga bahu depan muncul di bawah arkus pubis dan kemudian gerakan arah atas dan distal untuk melahirkan bahu belakang.
  23. Setelah bahu lahir, geser tangan bawah ke arah perineum ibu untuk menyanggah kepala, lengan dan siku sebelah bawah. Gunakan tangan atas untuk menelusuri dan memegang tangan dan siku sebelah atas.
  24. Setelah badan dan lengan lahir, tangan kiri menyusuri punggung ke arah bokong dan tungkai bawah janin untuk memegang tungkai bawah (selipkan jari telunjuk tangan kiri di antara kedua lutut janin)
  25. Melakukan penilaian selintas : (a) Apakah bayi menangis kuat dan atau bernafas tanpa kesulitan? (b) Apakah bayi bergerak aktif ?
  26. Mengeringkan tubuh bayi mulai dari muka, kepala dan bagian tubuh lainnya kecuali bagian tangan tanpa membersihkan verniks. Ganti handuk basah dengan handuk/kain yang kering. Membiarkan bayi di atas perut ibu.
  27. Memeriksa kembali uterus untuk memastikan tidak ada lagi bayi dalam uterus.
  28. Memberitahu ibu bahwa ia akan disuntik oksitosin agar uterus berkontraksi baik.
  29. Dalam waktu 1 menit setelah bayi lahir, suntikan oksitosin 10 unit IM (intramaskuler) di 1/3 paha atas bagian distal lateral (lakukan aspirasi sebelum menyuntikan oksitosin).
  30. Setelah 2 menit pasca persalinan, jepit tali pusat dengan klem kira-kira 3 cm dari pusat bayi. Mendorong isi tali pusat ke arah distal (ibu) dan jepit kembali tali pusat pada 2 cm distal dari klem pertama.
  31. Dengan satu tangan, pegang tali pusat yang telah dijepit (lindungi perut bayi), dan lakukan pengguntingan tali pusat di antara 2 klem tersebut.
  32. Mengikat tali pusat dengan benang DTT atau steril pada satu sisi kemudian melingkarkan kembali benang tersebut dan mengikatnya dengan simpul kunci pada sisi lainnya.
  33. Menyelimuti ibu dan bayi dengan kain hangat dan memasang topi di kepala bayi.
  34. Memindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5 -10 cm dari vulva
  35. Meletakan satu tangan di atas kain pada perut ibu, di tepi atas simfisis, untuk mendeteksi. Tangan lain menegangkan tali pusat.
  36. Setelah uterus berkontraksi, menegangkan tali pusat dengan tangan kanan, sementara tangan kiri menekan uterus dengan hati-hati ke arah dorsokrainal. Jika plasenta tidak lahir setelah 30 – 40 detik, hentikan penegangan tali pusat dan menunggu hingga timbul kontraksi berikutnya dan mengulangi prosedur.
  37. Melakukan penegangan dan dorongan dorsokranial hingga plasenta terlepas, minta ibu meneran sambil penolong menarik tali pusat dengan arah sejajar lantai dan kemudian ke arah atas, mengikuti poros jalan lahir (tetap lakukan tekanan dorsokranial).
  38. Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan plasenta dengan hati-hati. Bila perlu (terasa ada tahanan), pegang plasenta dengan kedua tangan dan lakukan putaran searah untuk membantu pengeluaran plasenta dan mencegah robeknya selaput ketuban.
  39. Segera setelah plasenta lahir, melakukan masase (pemijatan) pada fundus uteri dengan menggosok fundus uteri secara sirkuler menggunakan bagian palmar 4 jari tangan kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba keras)
  40. Periksa bagian maternal dan bagian fetal plasenta dengan tangan kanan untuk memastikan bahwa seluruh kotiledon dan selaput ketuban sudah lahir lengkap, dan masukan ke dalam kantong plastik yang tersedia.
  41. Evaluasi kemungkinan laserasi pada vagina dan perineum. Melakukan penjahitan bila laserasi menyebabkan perdarahan.
  42. Memastikan uterus berkontraksi dengan baik dan tidak terjadi perdarahan pervaginam.
  43. Membiarkan bayi tetap melakukan kontak kulit ke kulit di dada ibu paling sedikit 1 jam.
  44. Setelah satu jam, lakukan penimbangan/pengukuran bayi, beri tetes mata antibiotik profilaksis, dan vitamin K1 1 mg intramaskuler di paha kiri anterolateral.
  45. Setelah satu jam pemberian vitamin K1 berikan suntikan imunisasi Hepatitis B di paha kanan anterolateral.
  46. Melanjutkan pemantauan kontraksi dan mencegah perdarahan pervaginam.
  47. Mengajarkan ibu/keluarga cara melakukan masase uterus dan menilai kontraksi.
  48. Evaluasi dan estimasi jumlah kehilangan darah.
  49. Memeriksakan nadi ibu dan keadaan kandung kemih setiap 15 menit selama 1 jam pertama pasca persalinan dan setiap 30 menit selama jam kedua pasca persalinan.
  50. Memeriksa kembali bayi untuk memastikan bahwa bayi bernafas dengan baik.
  51. Menempatkan semua peralatan bekas pakai dalam larutan klorin 0,5% untuk dekontaminasi (10 menit). Cuci dan bilas peralatan setelah di dekontaminasi.
  52. Buang bahan-bahan yang terkontaminasi ke tempat sampah yang sesuai.
  53. Membersihkan ibu dengan menggunakan air DDT. Membersihkan sisa cairan ketuban, lendir dan darah. Bantu ibu memakai memakai pakaian bersih dan kering.
  54. Memastikan ibu merasa nyaman dan beritahu keluarga untuk membantu apabila ibu ingin minum.
  55. Dekontaminasi tempat persalinan dengan larutan klorin 0,5%.
  56. Membersihkan sarung tangan di dalam larutan klorin 0,5% melepaskan sarung tangan dalam keadaan terbalik dan merendamnya dalam larutan klorin 0,5%
  57. Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir.
  58. Melengkapi partograf.
Demikian sekilas tentang 58 langkah persalinan normal semoga bermanfaat.

Selasa, 28 Juni 2011

ASKEP BATU GINJAL

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Batu ginjal merupakan batu saluran kemih (urolithiasis), sudah dikenal sejak zaman Babilonia dan Mesir kuno dengan diketemukannya batu pada kandung kemih mummi. Batu saluran kemih dapat diketemukan sepanjang saluran kemih mulai dari sistem kaliks ginjal, pielum, ureter, buli-buli dan uretra. Batu ini mungkin terbentuk di di ginjal kemudian turun ke saluran kemih bagian bawah atau memang terbentuk di saluran kemih bagian bawah karena adanya stasis urine seperti pada batu buli-buli karena hiperplasia prostat atau batu uretra yang terbentu di dalam divertikel uretra.

Penyakit batu saluran kemih menyebar di seluruh dunia dengan perbedaan di negara berkembang banyak ditemukan batu buli-buli sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai batu saluran kemih bagian atas (gunjal dan ureter), perbedaan ini dipengaruhi status gizi dan mobilitas aktivitas sehari-hari. Angka prevalensi rata-rata di seluruh dunia adalah 1-12 % penduduk menderita batu saluran kemih.

Penyebab terbentuknya batu saluran kemih diduga berhubungan dengan gangguan aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik).

1.2 Permasalahan

Adapun permasalahan yang kelompok kami angkat dalam makalah ini adalah:

1). Apakah yang dimaksud dengan Urinary calculi (Batu Ginjal)?

2). Bagaimanakah etiologi dari Urinary calculi (Batu Ginjal)?

3). Bagaimanakah manifestasi klinis dari Urinary calculi (Batu Ginjal)?

4). Bagaimanakah patofisiologi Urinary calculi (Batu Ginjal)?

5). Bagaimana komplikasi dari Urinary calculi (Batu Ginjal)?

6). Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Pasien Urinary calculi (Batu Ginjal)?

1.3 Tujuan

1). Memahami pengertian, penyebab, jenis, serta tanda dan gejala yang muncul pada penyakit Urinary calculi (Batu Ginjal).

2). Menggunakan proses keperawatan sebagai kerangka kerja untuk perawatan pasien penderita Urinary calculi (Batu Ginjal).

3). Menguraikan prosedur perawatan yang digunakan untuk pasian penderita Urinary calculi (Batu Ginjal).

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Urinary Calculy (Batu Ginjal)

Batu di dalam saluran kemih (Urinary Calculi) adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih (batu kandung kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis (litiasis renalis, nefrolitiasis).

2.2 Etiologi Urinary Calculy (Batu Ginjal)

Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran kemih yang dibedakan sebagai faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik yaitu:

1). Faktor intrinsik, meliputi:

Herediter; diduga dapat diturunkan dari generasi ke generasi.

Umur; paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun.

Jenis kelamin; jumlah pasien pria 3 kali lebih banyak dibanding pasien wanita.

2). Faktor ekstrinsik, meliputi:

Geografi; pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stone belt (sabuk batu).

Iklim dan temperatur.

Asupan air; kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.

Diet; diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya batu saluran kemih.

Pekerjaan; penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk atau kurang aktivitas fisik (sedentary life).

Ada beberapa teori tentang terbentuknya Batu saluran kemih adalah:

1). Teori nukleasi: Batu terbentuk di dalam urine karena adanya inti batu atau sabuk batu (nukleus). Partikel-partikel yang berada dalam larutan kelewat jenuh akan mengendap di dalam nukleus itu sehingga akhirnya membentuk batu. Inti bantu dapat berupa kristal atau benda asing saluran kemih.

2). Teori matriks: Matriks organik terdiri atas serum/protein urine (albumin, globulin dan mukoprotein) sebagai kerangka tempat mengendapnya kristal-kristal batu.

3). Penghambat kristalisasi: Urine orang normal mengandung zat penghambat pembentuk kristal yakni magnesium, sitrat, pirofosfat, mukoprotein dan beberapa peptida. Jika kadar salah satu atau beberapa zat ini berkurang akan memudahkan terbentuknya batu dalam saluran kemih.

2.3 Patofisiologi Urinary Calculy (Batu Ginjal)

Batu saluran kemih dapat menimbulkan penyulit berupa obstruksi dan infeksi saluran kemih. Manifestasi obstruksi pada saluran kemih bagian bawah adalah retensi urine atau keluhan miksi yang lain sedangkan pada batu saluran kemih bagian atas dapat menyebabkan hidroureter atau hidrinefrosis. Batu yang dibiarkan di dalam saluran kemih dapat menimbulkan infeksi, abses ginjal, pionefrosis, urosepsis dan kerusakan ginjal permanen (gagal ginjal)

Infeksi è Pielonefritis è Ureritis è Sintitisè Hidronefrosis è Hidroureter è Pionefrosis è Urosepsis

2.4 Jenis- jenis Batu Ginjal

Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur: kalsium oksalat, kalsium fosfat, asam urat, magnesium-amonium-fosfat (MAP), xanthyn dan sistin. Pengetahuan tentang komposisi batu yang ditemukan penting dalam usaha pencegahan kemungkinan timbulnya batu residif.

1). Batu Kalsium

Batu kalsium (kalsium oksalat dan atau kalsium fosfat) paling banyak ditemukan yaitu sekitar 75-80% dari seluh batu saluran kemih. Faktor tejadinya batu kalsium adalah:

Hiperkasiuria: Kadar kasium urine lebih dari 250-300 mg/24 jam, dapat terjadi karena peningkatan absorbsi kalsium pada usus (hiperkalsiuria absorbtif), gangguan kemampuan reabsorbsi kalsium pada tubulus ginjal (hiperkalsiuria renal) dan adanya peningkatan resorpsi tulang (hiperkalsiuria resoptif) seperti pada hiperparatiridisme primer atau tumor paratiroid.

Hiperoksaluria: Ekskresi oksalat urien melebihi 45 gram/24 jam, banyak dijumpai pada pasien pasca pembedahan usus dan kadar konsumsi makanan kaya oksalat seperti the, kopi instan, soft drink, kakao, arbei, jeruk sitrun dan sayuran hijau terutama bayam.

Hiperurikosuria: Kadar asam urat urine melebihi 850 mg/24 jam. Asam urat dalam urine dapat bertindak sebagai inti batu yang mempermudah terbentuknya batu kalsium oksalat. Asam urat dalam urine dapat bersumber dari konsumsi makanan kaya purin atau berasal dari metabolisme endogen.

Hipositraturia: Dalam urine, sitrat bereaksi dengan kalsium membentuk kalsium sitrat sehingga menghalangi ikatan kalsium dengan oksalat atau fosfat. Keadaan hipositraturia dapat terjadi pada penyakit asidosis tubuli ginjal, sindrom malabsorbsi atau pemakaian diuretik golongan thiazide dalam jangka waktu lama.

Hipomagnesiuria: Seperti halnya dengan sitrat, magnesium bertindak sebagai penghambat timbulnya batu kalsium karena dalam urine magnesium akan bereaksi dengan oksalat menjadi magnesium oksalat sehingga mencegah ikatan dengan kalsium ddengan oksalat.

2). Batu Struvit

Batu struvit disebut juga batu sebagai batu infeksi karena terbentuknya batu ini dipicu oleh adanya infeksi saluran kemih. Kuman penyebab infeksi ini adalah golongan pemecah urea (uera splitter seperti: Proteus spp., Klebsiella, Serratia, Enterobakter, Pseudomonas dan Stafilokokus) yang dapat menghasilkan enzim urease dan mengubah urine menjadi basa melalui hidrolisis urea menjadi amoniak. Suasana basa ini memudahkan garam-garam magnesium, amonium, fosfat dan karbonat membentuk batu magnesium amonium fosfat (MAP) dan karbonat apatit.

3). Batu Urat

Batu asam urat meliputi 5-10% dari seluruh batu saluran kemih, banyak dialami oleh penderita gout, penyakit mieloproliferatif, pasein dengan obat sitostatika dan urikosurik (sulfinpirazone, thiazide dan salisilat). Kegemukan, alkoholik dan diet tinggi protein mempunyai peluang besar untuk mengalami penyakit ini. Faktor yang mempengaruhi terbentuknya batu asam urat adalah: urine terlalu asam (pH < 6, volume urine < 2 liter/hari atau dehidrasi dan hiperurikosuria.

2.5 Gambaran Klinik dan Diagnosis

Keluhan yang disampaikan pasien tergantung pada letak batu, besar batu dan penyulit yang telah terjadi. Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan nyeri ketok di daerah kosto-vertebra, teraba ginjal pada sisi yang sakit akibat hidronefrosis, ditemukan tanda-tanda gagal ginjal, retensi urine dan jika disertai infeksi didapatkan demam/menggigil.

Pemeriksaan sedimen urine menunjukan adanya lekosit, hematuria dan dijumpai kristal-kristal pembentuk batu. Pemeriksaan kultur urine mungkin menunjukkan adanya adanya pertumbuhan kuman pemecah urea.

Pemeriksaan faal ginjal bertujuan mencari kemungkinan terjadinya penurunan fungsi ginjal dan untuk mempersipkan pasien menjalani pemeriksaan foto PIV. Perlu juga diperiksa kadar elektrolit yang diduga sebagai penyebab timbulnya batu salran kemih (kadar kalsium, oksalat, fosfat maupun urat dalam darah dan urine).

Pembuatan foto polos abdomen bertujuan melihat kemungkinan adanya batu radio-opak dan paling sering dijumpai di atara jenis batu lain. Batu asam urat bersifat non opak (radio-lusen).

Pemeriksaan pieolografi intra vena (PIV) bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Selain itu PIV dapat mendeteksi adanya batu semi opak atau batu non opak yang tidak tampak pada foto polos abdomen.

Ultrasongrafi dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan PIV seperti pada keadaan alergi zat kontras, faal ginjal menurun dan pada pregnansi. Pemeriksaan ini dapat menilai adanya batu di ginjal atau buli-buli (tampak sebagai echoic shadow), hidronefrosis, pionefrosis atau pengkerutan ginjal.

2.6 Gejala Urinary Calculy (Batu Ginjal)

Batu, terutama yang kecil, bisa tidak menimbulkan gejala. Batu di dalam kandung kemih bisa menyebabkan nyeri di perut bagian bawah.
Batu yang menyumbat ureter, pelvis renalis maupun tubulus renalis bisa menyebabkan nyeri punggung atau kolik renalis (nyeri kolik yang hebat). Kolik renalis ditandai dengan nyeri hebat yang hilang-timbul, biasanya di daerah antara tulang rusuk dan tulang pinggang, yang menjalar ke perut, daerah kemaluan dan paha sebelah dalam.

Gejala lainnya adalah mual dan muntah, perut menggelembung, demam, menggigil dan darah di dalam air kemih. Penderita mungkin menjadi sering berkemih, terutama ketika batu melewati ureter.

Batu bisa menyebabkan infeksi saluran kemih. Jika batu menyumbat aliran kemih, bakteri akan terperangkap di dalam air kemih yang terkumpul diatas penyumbatan, sehingga terjadilah infeksi. Jika penyumbatan ini berlangsung lama, air kemih akan mengalir balik ke saluran di dalam ginjal, menyebabkan penekanan yang akan menggelembungkan ginjal (hidronefrosis) dan pada akhirnya bisa terjadi kerusakan ginjal.

2.7 Asuhan Keperawatan

1). Pengkajian

Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik: berdasarkan klasifikasi Doenges dkk. (2000) riwayat keperawatan yang perlu dikaji adalah:

Aktivitas/istirahat:

Gejala : Riwayat pekerjaan monoton, aktivitas fisik rendah, lebih banyak duduk

Riwayat bekerja pada lingkungan bersuhu tinggi

Keterbatasan mobilitas fisik akibat penyakit sistemik lainnya (cedera serebrovaskuler, tirah baring lama)

Sirkulasi

Tanda : Peningkatan TD, HR (nyeri, ansietas, gagal ginjal)

Kulit hangat dan kemerahan atau pucat

Eliminasi

Gejala : Riwayat ISK kronis, obstruksi sebelumnya

Penurunan volume urine

Rasa terbakar, dorongan berkemih

Diare

Tanda : Oliguria, hematuria, piouria

Perubahan pola berkemih

Makanan dan cairan:

Gejala : Mual/muntah, nyeri tekan abdomen

Riwayat diet tinggi purin, kalsium oksalat dan atau fosfat

Hidrasi yang tidak adekuat, tidak minum air dengan cukup

Tanda : Distensi abdomen, penurunan/tidak ada bising usus

Muntah

Nyeri dan kenyamanan:

Gejala : Nyeri hebat pada fase akut (nyeri kolik), lokasi nyeri tergantung lokasi batu (batu ginjal menimbulkan nyeri dangkal konstan)

Tanda : Perilaku berhati-hati, perilaku distraksi

Nyeri tekan pada area ginjal yang sakit

Keamanan:

Gejala : Penggunaan alkohol

Demam/menggigil

Penyuluhan/pembelajaran:

Gejala : Riwayat batu saluran kemih dalam keluarga, penyakit ginjal, hipertensi, gout, ISK kronis

Riwayat penyakit usus halus, bedah abdomen sebelumnya, hiperparatiroidisme

Penggunaan antibiotika, antihipertensi, natrium bikarbonat, alopurinul, fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium atau vitamin.

2). Diagnosa Keperawatan

Nyeri (akut) b/d peningkatan frekuensi kontraksi ureteral, taruma jaringan, edema dan iskemia seluler.

Perubahan eliminasi urine b/d stimulasi kandung kemih oleh batu, iritasi ginjal dan ureter, obstruksi mekanik dan peradangan.

Kekurangan volume cairan (resiko tinggi) b/d mual/muntah (iritasi saraf abdominal dan pelvis ginjal atau kolik ureter, diuresis pasca obstruksi.

Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan terapi b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan sebelumnya adalah:

Batu di dalam saluran kemih (Urinary Calculi) adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi.
Faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran kemih yang dibedakan sebagai faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.
Patofisiolofi dari batu ginjal di mulai dari Infeksi è Pielonefritis è Ureritis è Sintitisè Hidronefrosis è Hidroureter è Pionefrosis è Urosepsis.
Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur: kalsium oksalat, kalsium fosfat, asam urat, magnesium-amonium-fosfat (MAP), xanthyn dan sistin. Pengetahuan tentang komposisi batu yang ditemukan penting dalam usaha pencegahan kemungkinan timbulnya batu residif.
Pemeriksaan faal ginjal bertujuan mencari kemungkinan terjadinya penurunan fungsi ginjal dan untuk mempersipkan pasien menjalani pemeriksaan foto PIV.
Terutama yang kecil, bisa tidak menimbulkan gejala. Batu di dalam kandung kemih bisa menyebabkan nyeri di perut bagian bawah. Batu yang menyumbat ureter, pelvis renalis maupun tubulus renalis bisa menyebabkan nyeri punggung atau kolik renalis (nyeri kolik yang hebat).
Asuhan Keperawatan pada pasien batu ginjal dimulai dari pengkajian sampai tahap evaluasi.

3.2 Saran

Pencegahan

Setelah batu dikelurkan, tindak lanjut yang tidak kalah pentingnya adalahupaya mencegah timbulnya kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7%/tahun atau kambuh >50% dalam 10 tahun.

Prinsip pencegahan didasarkan pada kandungan unsur penyusun batu yang telah diangkat. Secara umum, tindakan pencegahan yang perlu dilakukan adalah:

Menghindari dehidrasi dengan minum cukup, upayakan produksi urine 2-3 liter per hari

Diet rendah zat/komponen pembentuk batu

Aktivitas harian yang cukup

Medikamentosa

Beberapa diet yang dianjurkan untuk untuk mengurangi kekambuhan adalah:

Rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urine dan menyebabkan suasana urine menjadi lebih asam.

Rendah oksalat

Rendah garam karena natiuresis akan memacu timbulnya hiperkalsiuria

Rendah purin

Rendah kalsium tidak dianjurkan kecuali pada hiperkalsiuria absorbtif type II

DAFTAR PUSTAKA

http://www.medicastore.com/images/batu_ginjal&imgrefurl

http://fund0c.multiply.com/journal/item/101&usg

www.anneahira.com/pencegahan-penyakit/batu-ginjal.htm

http://mediailmukeperawatan-susanto.blogspot.com/2009/03/askep-batu-ginjal.html

Doenges, ME. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi.3.Jakarta: EGC

Jumat, 24 Juni 2011

ASKEP MENINGITIS

Meningitis

A. Pengertian

Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur(Smeltzer, 2001).

Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah satu dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus influenza dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996).

Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001).

B. Etiologi

Bakteri : Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.
Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.
Faktor predisposisi : jenis kelamin lakilaki lebih sering dibandingkan dengan wanita.
Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir kehamilan.
Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.
Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan dengan sistem persarafan.


C. Klasifikasi

Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu :

Meningitis serosa
Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.

Meningitis purulenta
Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.


D. Patofisiologi

Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari oroaring dan diikuti dengan septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas.

Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah saraf baru, trauma kepala dan pengaruh imunologis. Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini penghubung yang menyokong perkembangan bakteri.

Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di dalam meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak), edema serebral dan peningkatan TIK.

Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindromWaterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh meningokokus.

E. Manifestasi klinis

Gejala meningitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan TIK :

Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering)
Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan koma.
Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sbb :
Rigiditas nukal (kaku leher). Upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.
Tanda kernik positip: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadan fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna.
Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan fleksi lutut dan pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada salah satu sisi maka gerakan yang sama terlihat peda sisi ektremita yang berlawanan.
Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.
Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat eksudat purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan karakteristik tanda-tanda vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi), pernafasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat kesadaran.
Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.
Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia : demam tinggi tiba-tiba muncul, lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati intravaskuler diseminata.


F. Pemeriksaan Diagnostik

Analisis CSS dari fungsi lumbal :
Meningitis bakterial : tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, jumlah sel darah putih dan protein meningkat glukosa meningkat, kultur positip terhadap beberapa jenis bakteri.
Meningitis virus : tekanan bervariasi, cairan CSS biasanya jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur biasanya negatif, kultur virus biasanya dengan prosedur khusus.
Glukosa serum : meningkat (meningitis)
LDH serum : meningkat (meningitis bakteri)
Sel darah putih : sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil (infeksi bakteri)
Elektrolit darah : Abnormal.
Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urine : dapat mengindikasikan daerah pusat infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi.
MRI/ skan CT : dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat ukuran/letak ventrikel; hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor.
Rontgen dada/kepala/ sinus ; mungkin ada indikasi sumber infeksi intra kranial.


G. Komplikasi

Hidrosefalus obstruktif
MeningococcL Septicemia (mengingocemia)
Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC,perdarahan adrenal bilateral)
SIADH (Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone)
Efusi subdural
Kejang
Edema dan herniasi serebral
Cerebral palsy
Gangguan mental
Gangguan belajar
Attention deficit disorder.

Download Askep Meningitis di sini


Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Meningitis

A. Pengkajian

Biodata klien.

Riwayat kesehatan yang lalu
Apakah pernah menderita penyait ISPA dan TBC ?
Apakah pernah jatuh atau trauma kepala ?
Pernahkah operasi daerah kepala ?

Riwayat kesehatan sekarang
Aktivitas
Gejala : Perasaan tidak enak (malaise). Tanda : ataksia, kelumpuhan, gerakan involunter.
Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi : endokarditis dan PJK. Tanda : tekanan darah meningkat, nadi menurun, dan tekanan nadi berat, taikardi, disritmia.
Eliminasi
Tanda : Inkontinensi dan atau retensi.
Makanan/cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan, sulit menelan. Tanda : anoreksia, muntah, turgor kulit jelek dan membran mukosa kering.
Higiene
Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri.
Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, parestesia, terasa kaku pada persarafan yang terkena, kehilangan sensasi, hiperalgesia, kejang, diplopia, fotofobia, ketulian dan halusinasi penciuman. Tanda : letargi sampai kebingungan berat hingga koma, delusi dan halusinasi, kehilangan memori, afasia,anisokor, nistagmus,ptosis, kejang umum/lokal, hemiparese, tanda brudzinki positif dan atau kernig positif, rigiditas nukal, babinski positif,reflek abdominal menurun dan reflek kremastetik hilang pada laki-laki.
Nyeri/keamanan
Gejala : sakit kepala(berdenyut hebat, frontal). Tanda : gelisah, menangis.
Pernafasan
Gejala : riwayat infeksi sinus atau paru. Tanda : peningkatan kerja pernafasan.


B. Diagnosa Keperawatan

Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan diseminata hematogen dari patogen.

Risiko tinggi terhadap perubahan serebral dan perfusi jaringan sehubungan dengan edema serebral, hipovolemia.

Risisko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/fokal, kelemahan umum, vertigo.

Nyeri (akut) sehubungan dengan proses inflamasi, toksin dalam sirkulasi.

Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan neuromuskular, penurunan kekuatan

Anxietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.


C. Intervensi

Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan diseminata hematogen dari patogen.
Mandiri :
Beri tindakan isolasi sebagai pencegahan
Pertahan kan teknik aseptik dan teknik cuci tangan yang tepat.
Pantau suhu secara teratur
Kaji keluhan nyeri dada, nadi yang tidak teratur demam yang terus menerus
Auskultasi suara nafas ubah posisi pasien secara teratur, dianjurkan nafas dalam
Cacat karakteristik urine (warna, kejernihan dan bau)

Kolaborasi :
Berikan terapi antibiotik iv: penisilin G, ampisilin, klorampenikol, gentamisin.

Resiko tinggi terhadap perubahan cerebral dan perfusi jaringan sehubungan dengan edema serebral, hipovolemia.
Mandiri :
Tirah baring dengan posisi kepala datar.
Pantau status neurologis.
Kaji regiditas nukal, peka rangsang dan kejang.
Pantau tanda vital dan frekuensi jantung, penafasan, suhu, masukan dan haluaran.
Bantu berkemih, membatasi batuk, muntah mengejan.

Kolaborasi :
Tinggikan kepala tempat tidur 15-45 derajat.
Berikan cairan iv (larutan hipertonik, elektrolit).
Pantau BGA.
erikan obat : steoid, clorpomasin, asetaminofen.

Resiko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/vokal, kelemahan umum vertigo.
Mandiri :
Pantau adanya kejang
Pertahankan penghalang tempat tidur tetap terpasang dan pasang jalan nafas buatan.
Tirah baring selama fase akut kolaborasi berikan obat : venitoin, diaepam, venobarbital.

Nyeri (akut ) sehubungan dengan proses infeksi, toksin dalam sirkulasi.
Mandiri :
Letakkan kantung es pada kepala, pakaian dingin di atas mata, berikan posisi yang nyaman kepala agak tinggi sedikit, latihan rentang gerak aktif atau pasif dan masage otot leher.
Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman(kepala agak tingi)
Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif.
Gunakan pelembab hangat pada nyeri leher atau pinggul.

Kolaborasi :
Berikan anal getik, asetaminofen, codein

Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
Kaji derajat imobilisasi pasien.
Bantu latihan rentang gerak.
Berikan perawatan kulit, masase dengan pelembab.
Periksa daerah yang mengalami nyeri tekan, berikan matras udsra atau air perhatikan kesejajaran tubuh secara fumgsional.
Berikan program latihan dan penggunaan alat mobiluisasi.

Perubahan persepsi sensori sehubungan dengan defisit neurologis
Pantau perubahan orientasi, kemamapuan berbicara,alam perasaaan, sensorik dan proses pikir.
Kaji kesadara sensorik : sentuhan, panas, dingin.
Observasi respons perilaku.
Hilangkan suara bising yang berlebihan.
Validasi persepsi pasien dan berikan umpan balik.
Beri kessempatan untuk berkomunikasi dan beraktivitas.
Kolaborasi ahli fisioterapi, terapi okupasi,wicara dan kognitif.

Ansietas sehubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.
Kaji status mental dan tingkat ansietasnya.
Berikan penjelasan tentang penyakitnya dan sebelum tindakan prosedur.
Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan.
Libatkan keluarga/pasien dalam perawatan dan beri dukungan serta petunjuk sumber penyokong.


H. Evaluasi

Hasil yang diharapkan :

Mencapai masa penyembuhan tepat waktu, tanpa bukti penyebaran infeksi endogen atau keterlibatan orang lain.
Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik dan fungsi motorik/sensorik, mendemonstrasikan tanda-tanda vital stabil.
Tidak mengalami kejang/penyerta atau cedera lain.
Melaporkan nyeri hilang/terkontrol dan menunjukkan postur rileks dan mampu tidur/istirahat dengan tepat.
Mencapai kembali atau mempertahankan posisi fungsional optimal dan kekuatan.
Meningkatkan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi.
Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang dan mengungkapkan keakuratan pengetahuan tentang situasi.



DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilyn E, dkk.(1999).Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih Bahasa, I Made Kariasa, N Made Sumarwati. Editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester, Yasmin asih. Ed.3. Jakarta : EGC.

Harsono.(1996).Buku Ajar Neurologi Klinis.Ed.I.Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Smeltzer, Suzanne C & Bare,Brenda G.(2001).Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.Alih bahasa, Agung Waluyo,dkk.Editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester.Ed.8.Jakarta : EGC.

Tucker, Susan Martin et al. Patient care Standards : Nursing Process, diagnosis, And Outcome. Alih bahasa Yasmin asih. Ed. 5. Jakarta : EGC; 1998.

Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994.

Long, Barbara C. perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Bandung : yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan; 1996.

ASKEP DHF

ASUHAN KEPERAWATAN DENGUE HAEMORAGIC FEVER (DHF)

Dengue Haemorhagic Fever

A. Pengertian

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (Christantie Efendy,1995 ).
Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau tanpa ruam. DHF sejenis virus yang tergolong arbo virus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (betina) (Seoparman, 1990).
DHF adalah demam khusus yang dibawa oleh aedes aegypty dan beberapa nyamuk lain yang menyebabkan terjadinya demam. Biasanya dengan cepat menyebar secara efidemik. (Sir, Patrick manson, 2001).


B. Etiologi

Virus dengue sejenis arbovirus.
Virus dengue tergolong dalam family Flavividae dan dikenal ada 4 serotif, Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke II, sedangkan dengue 3 dan 4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953-1954. Virus dengue berbentuk batang, bersifat termoragil, sensitif terhadap in aktivitas oleh diatiter dan natrium diaksikolat, stabil pada suhu 70 oC.
Keempat serotif tersebut telah di temukan pula di Indonesia dengan serotif ke 3 merupakan serotif yang paling banyak.


C. Patofisiologi

Virus akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypty dan kemudian akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah kompleks virus-antibody. Dalam sirkulasi akan mengaktivasi system komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a,dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat sebagai factor
meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangkan plasma melalui endotel dinding itu.

Terjadinya trobositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan factor penyebab terjadinya perdarahan hebat , terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF.

Yang menentukan beratnya penyakit adalah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia dan diathesis hemorrhagic, renjatan terjadi secara akut.

Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Dan dengan hilangnya plasma klien mengalami hipovolemik. Apabila tidak diatasi bisa terjadi anoxia jaringan, acidosis metabolic dan kematian.


D. Tanda dan gejala

Demam tinggi selama 5 – 7 hari.
Mual, muntah, tidak ada nafsu makan, diare, konstipasi.
Perdarahan terutama perdarahan bawah kulit, ptechie, echymosis, hematoma.
Epistaksis, hematemisis, melena, hematuri.
Nyeri otot, tulang sendi, abdoment, dan ulu hati.
Sakit kepala.
Pembengkakan sekitar mata.
Pembesaran hati, limpa, dan kelenjar getah bening.
Tanda-tanda renjatan (sianosis, kulit lembab dan dingin, tekanan darah menurun, gelisah, capillary refill lebih dari dua detik, nadi cepat dan lemah).


E. Pemeriksaan penunjang

Darah
Trombosit menurun.
HB meningkat lebih 20 %
HT meningkat lebih 20 %
Leukosit menurun pada hari ke 2 dan ke 3
Protein darah rendah
Ureum PH bisa meningkat
NA dan CL rendah

Serology : HI (hemaglutination inhibition test).
Rontgen thorax : Efusi pleura.
Uji test tourniket (+)


F. Penatalaksanaan

Tirah baring
Pemberian makanan lunak
Pemberian cairan melalui infus
Pemberian obat-obatan : antibiotic, antipiretik
Anti konvulsi jika terjadi kejang
Monitor tanda-tanda vital (Tekanan Darah, Suhu, Nadi, RR).
Monitor adanya tanda-tanda renjatan
Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut
Periksa HB,HT, dan Trombosit setiap hari.


G. Tumbuh kembang pada anak usia 6-12 tahun

Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya ukuran berbagai organ fisik berkaitan dengan masalah perubahan dalam jumlah, besar, ukuran atau dimensi tingkat sel. Pertambahan berat badan 2 – 4 Kg / tahun dan pada anak wanita sudah mulai mengembangkan cirri sex sekundernya.
Perkembangan menitikberatkan pada aspek diferensiasi bentuk dan fungsi termasuk perubahan sosial dan emosi.

Motorik kasar
Loncat tali
Memukul
Badminton
Motorik kasar di bawah kendali kognitif dan berdasarkan secara bertahap meningkatkan irama dan kehalusan.
Motorik halus
Menunjukan keseimbangan dan koordinasi mata dan tangan
Dapat meningkatkan kemampuan menjahit, membuat model dan bermain alat musik.
Kognitif
Dapat berfokus pada lebih dan satu aspek dan situasi
Dapat mempertimbangkan sejumlah alternatif dalam pemecahan masalah
Dapat membelikan cara kerja dan melacak urutan kejadian kembali sejak awal
Dapat memahami konsep dahulu, sekarang dan yang akan datang.
Bahasa
Mengerti kebanyakan kata-kata abstrak
Memakai semua bagian pembicaraan termasuk kata sifat, kata keterangan, kata penghubung dan kata depan
Menggunakan bahasa sebagai alat pertukaran verbal
Dapat memakai kalimat majemuk dan gabungan.



Sumber : http://kumpulan-asuhan-keperawatan.blogspot.com/2009/02/asuhan-keperawatan-pada-anak-dengan.html
Download Askep DHF Gratis :

Di Sini
dan
Di Sini




ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN DHF

Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal yang dilakukan perawat untuk mendapatkan data yang dibutuhkan sebelum melakukan asuhan keperawatan . pengkajian pada pasien dengan “DHF” dapat dilakukan dengan teknik wawancara, pengukuran, dan pemeriksaan fisik. Adapun tahapan-tahapannya meliputi :
Mengidentifikasi sumber-sumber yang potensial dan tersedia untuk memenuhi kebutuhan pasien.
Kaji riwayat keperawatan.
Kaji adanya peningkatan suhu tubuh ,tanda-tanda perdarahan, mual, muntah, tidak nafsu makan, nyeri ulu hati, nyeri otot dan sendi, tanda-tanda syok (denyut nadi cepat dan lemah, hipotensi, kulit dingin dan lembab terutama pada ekstrimitas, sianosis, gelisah, penurunan kesadaran).

Diagnosa keperawatan yang Muncul
Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, tidak ada nafsu makan.

Intervensi
Diagnosa 1. :
Gangguan volume cairan tubuh kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler, perdarahan , muntah dan demam.
Tujuan : Gangguan volume cairan tubuh dapat teratasi
Kriteria hasil :
Volume cairan tubuh kembali normal
Intervensi :
Kaji KU dan kondisi pasien
Observasi tanda-tanda vital ( S,N,RR )
Observasi tanda-tanda dehidrasi
Observasi tetesan infus dan lokasi penusukan jarum infus
Balance cairan (input dan out put cairan)
Beri pasien dan anjurkan keluarga pasien untuk memberi minum banyak
Anjurkan keluarga pasien untuk mengganti pakaian pasien yang basah oleh
keringat.

Diagnosa 2. :
Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.
Tujuan : Hipertermi dapat teratasi
Kriteria hasil :
Suhu tubuh kembali normal
Intervensi :
Observasi tanda-tanda vital terutama suhu tubuh
Berikan kompres dingin (air biasa) pada daerah dahi dan ketiak
Ganti pakaian yang telah basah oleh keringat
Anjurkan keluarga untuk memakaikan pakaian yang dapat menyerap keringat seperti terbuat dari katun.
Anjurkan keluarga untuk memberikan minum banyak kurang lebih 1500 – 2000 cc per hari
kolaborasi dengan dokter dalam pemberian Therapi, obat penurun panas.

Diagnosa 3. :
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,
muntah, tidak ada nafsu makan.
Tujuan : Gangguan pemenuhan nutrisi teratasi
Kriteria hasil :
Intake nutrisi klien meningkat
Intervensi :
Kaji intake nutrisi klien dan perubahan yang terjadi
Timbang berat badan klien tiap hari
Berikan klien makan dalam keadaan hangat dan dengan porsi sedikit tapi
sering
Beri minum air hangat bila klien mengeluh mual
Lakukan pemeriksaan fisik Abdomen (auskultasi, perkusi, dan palpasi).
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian Therapi anti emetik.
Kolaborasi dengan tim gizi dalam penentuan diet.

ASKEP TRACHOMA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA
PASIEN DENGAN TRACHOMA

BAB I
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Trachoma adalah sebuah penyakit mata menular, dan penyebab utama kebutaan akibat infeksi di dunia. Secara global, 84 juta orang menderita infeksi aktif dan hampir 8 juta orang menjadi tunanetra sebagai akibat dari penyakit ini.
Trakoma adalah salah satu bentuk radang konjungtiva (selaput lendir mata) yang berlangsung lama dan disebabkan oleh Chlamydia Trachomatis. Infeksi ini menyebar melalui kontak langsung dengan sekret kotoran mata penderita trakoma atau melalui alat-alat kebutuhan sehari-hari seperti handuk, alat-alat kecantikan dan lain-lain. Penyakit ini sangat menular dan biasanya menyerang kedua mata. Bila ditangani secepatnya, trakoma dapat disembuhkan dengan sempurna. Namun bila terlambat dalam penanganannya, trakoma dapat menyebabkan kebutaan.
B. Etiologi
Trachoma disebabkan oleh Chlamydia trachomatis dan disebarkan melalui kontak langsung dengan mata, hidung, dan tenggorokan yang terkena cairan (yang mengandung kuman ini) dari pengidap, atau kontak dengan benda mati, seperti handuk dan / atau kain lap, yang pernah kontak serupa dengan cairan ini. Lalat juga dapat menjadi rute transmisi. Jika tidak diobati, infeksi trachoma berulang dapat mengakibatkan entropion yang merupakan bentuk kebutaan permanen dan disertai rasa nyeri jika kelopak mata berbalik ke dalam, karena ini menyebabkan bulu mata menggaruk kornea. Anak-anak yang paling rentan terhadap infeksi ini karena kecenderungan mereka untuk dengan mudah menjadi kotor, tetapi efek-efek pengihatan kabur dan gejala lebih parah lainnya sering tidak terasa sampai dewasa.
C. Klasifikasi
Mac Callan : Berdasarkan pada gambaran kerusakan konjungtiva, dibagi dalam 4 stadium yaitu :
1. Stadium Insidious : folikel imatur kecil-kecil pada konj palp sup, jar parut.
2. Stadium akut (trakoma nyata) : terdapat hipertrofi papil & folikel yang masak pada palp sup.
3. Stadium sikatriks : sikatriks konj, bentuk garis-garis putih halus disertai folikel dan hipertrofi.
4. Stadium penyakitembuhan : trakoma inaktif, folikel, sikatriks meluas tanpa peradangan.
Klasifikasi Menurut WHO
1. Trakoma Inflamasi-Folikuler (TF)
2. Trakoma Inflamasi – Intense (TI)
3. Trakoma Sikatriks (TS)
4. Trakoma Trikiasis (TT)
5. Kekeruhan kornea (CO)

D. Tanda dan gejala
Bakteri ini memiliki masa inkubasi dari 5 sampai 12 hari setelah seseorang mengalami gejala konjungtivitis atau iritasi mirip dengan “mata merah muda.” Endemik kebutaan trakoma merupakan hasil dari beberapa episode reinfeksi yang menghasilkan peradangan terus-menerus pada konjungtiva. Tanpa reinfeksi, peradangan akan berangsur-angsur mereda.
Peradangan konjungtiva disebut “trachoma aktif” dan biasanya terlihat pada anak-anak, terutama anak-anak pra sekolah (dasar). Hal ini ditandai dengan benjolan putih di permukaan bawah tutup mata atas (conjunctival folikel atau pusat-pusat germinal limfoid). Non-peradangan dan penebalan tertentu sering dikaitkan dengan papila. Folikel mungkin juga muncul di persimpangan kornea dan sclera (limbal folikel). Trakoma aktif akan sering menjengkelkan dan memiliki cairan berair. Infeksi sekunder bakteri dapat terjadi dan menyebabkan discharge purulen.
Perubahan-perubahan struktural trakoma disebut sebagai “cicatricial trakoma”. Ini termasuk jaringan parut di tutup mata (konjungtiva tarsal) yang mengarah pada distorsi tutup mata dengan tekuk dari tutup (Tarsus) sehingga muncul bulu mata gosok pada mata (trichiasis). Bulu mata ini akan mengakibatkan kekeruhan kornea dan bekas luka dan kemudian mengarah ke kebutaan. Bekas luka linear hadir dalam sulkus subtarsalis disebut ‘garis Arlt’s’. Selain itu, pembuluh darah dan jaringan parut dapat menyerang bagian atas kornea (pannus).
Lebih lanjut gejala termasuk:
1. Keluarnya cairan kotor dari mata – bukan air mata (emisi atau sekresi cairan yang mengandung lendir dan nanah dari mata)
2. Pembengkakan kelopak mata
3. Trichiasis (berbalik-nya bulu mata)
4. Pembengkakan kelenjar getah bening di depan telinga
5. Munculnya garis parutan pada kornea
6. Komplikasi pada telinga, hidung dan tenggorokan.
Komplikasi utama atau yang paling penting adalah ulkus (luka/iritasi) pada kornea karena infeksi bakteri.

E. Patofisiologi
Melalui kontak langsung dengan discharge yang keluar dari mata yang terkena infeksi atau dari discharges nasofaring melalui jari atau kontak tidak langsung dengan benda yang terkontaminasi, seperti handuk, pakaian dan benda-benda lain yang dicemari discharge nasofaring dari penderita. Lalat, terutama Musca sorbens di Afrika dan Timur Tengah dan spesies jenis Hippelates di Amerika bagian selatan, ikut berperan pada penyebaran penyakit. Pada anak-anak yang menderita trachoma aktif, chlamydia dapat ditemukan dari nasofaring dan rektum. Namun didaerah endemis untuk serovarian dari trachoma tidak ditemukan reservoir genital.
Masa inkubasi sukar ditentukan karena timbulnya penyakit ini adalah lambat. Penyakit ini termasuk penyakit mata yang sangat menular.
Gambaran kliniknya dibagi atas 4 stadium :
1. Stadium I; disebut stadium insipien atau stadium permulaan, didapatkan terutama folikel di konjungtiva tarsal superior, pada konjungtiva tarsal inferior juga terdapat folikel, tetapi ini tidak merupakan gejala khas trakoma. Pada kornea di daerah limbus superior terdapat keratitis pungtata epitel dan subepitel. Kelainan kornea lebih jelas apabila diperiksa dengan melakukan tes fluoresin, dimana akan terlihat titik-titik hijau pada defek kornea.
2. Stadium II; disebut stadium established atau nyata, didapatkan folikel-folikel di konjungtiva tarsal superior,beberapa folikel sudah matur berwarna lebih abu-abu. Pada kornea selain keratitis pungtata superficial, juga terlihat adanya neovaskularisasi, yaitu pembuluh darah baru yang berjalan dari limbus ke arah kornea bagian atas. Susunan keratitis pungtata superfisial dan neovaskularisasi tersebut dikenal sebagai pannus.
3. Stadium III; disebut stadium parut, dimulai terbentuknya sikatriks pada folikel konjungtiva tarsal superior yang terlihat sebagai garis putih halus. Pannus pada kornea lebih nyata. Tidak jarang pada stadium ini masih terlihat trikiasis sebagai penyakit. Pada stadium ini masih dijumpai folikel pada konjungtiva tarsal superior.
4. Stadium IV; disebut stadium penyembuhan. Pada stadium ini, folikel pada konjungtiva tarsal superior tidak ada lagi, yang ada hanya sikatriks. Pada kornea bagian atas pannus tidak aktif lagi. Pada stadium ini dijumpai komplikasi-komplikasi seperti entropion sikatrisiale, yaitu pinggir kelopak mata atas melengkung ke dalam disebabkan sikatriks pada tarsus. Bersamaan dengan enteropion, bulu-bulu mata letaknya melengkung kedalam menggosok bola mata (trikiasis). Bulu mata demikian dapat berakibat kerusakan pada kornea, yang mudah terkena infeksi sekunder, sehingga mungkin terjadi ulkus kornea. Apabila penderita tidak berobat, ulkus kornea dapat menjadi dalam dan akhirnya timbul perforasi.
F. Pencegahan dan pengobatan/perawatan
Meskipun trakoma dihapuskan dari banyak negara maju dalam abad terakhir, penyakit ini bertahan di banyak bagian dunia berkembang khususnya di masyarakat tanpa akses yang memadai terhadap air dan sanitasi. Dalam banyak masyarakat ini, wanita tiga kali lebih besar daripada laki-laki akan dibutakan oleh penyakit ini,karena peran mereka sebagai pengasuh dalam keluarga.
Tanpa intervensi, trakoma keluarga tetap bertahan dalam lingkaran kemiskinan, karena penyakit dan efek jangka panjang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Pencegahan yang penting meliputi:
• Pembedahan: Bagi individu dengan trichiasis (berbaliknya arah lengkungan bulu mata ke arah dalam), sebuah prosedur rotasi bilamellar tarsal dibenarkan untuk mengarahkan bulu mata menjauh dari bola mata.
• Terapi antibiotik : Pedoman WHO merekomendasikan jika terjadi endemik massa (sekitar 10 % dari populasi suatu daerah) maka perawatan/pengobatan dengan antibiotik tahunan harus terus dilakukan sampai prevalensi turun di bawah lima persen. Jika prevalensi lebih rendah dari itu maka pengobatan antibiotik harus berbasiskan keluarga.
• Pilihan antibiotik: oral dosis tunggal 20 mg / kg atau topical tetracycline (satu persen salep mata dua kali sehari selama enam minggu). Azitromisin lebih disukai karena digunakan sebagai oral dosis tunggal.
• Kebersihan: Anak-anak dengan hidung terlihat terlalu berair, okular discharge, atau lalat di wajah mereka paling tidak dua kali lebih mungkin untuk memiliki trakoma aktif dibanding anak-anak dengan wajah yang bersih. Intensif kesehatan berbasis masyarakat untuk mempromosikan program pendidikan muka-cuci dapat secara signifikan mengurangi prevalensi trachoma aktif.
• Perbaikan lingkungan: Modifikasi dalam penggunaan air, kontrol lalat, penggunaan jamban, pendidikan kesehatan dan kedekatan dengan hewan peliharaan semuanya telah diusulkan untuk mengurangi penularan dari C. trachomatis. Perubahan-perubahan ini menimbulkan banyak tantangan untuk pelaksanaannya. Agaknya perubahan lingkungan ini pada akhirnya berdampak pada penularan infeksi okular melalui wajah kurangnya kebersihan.


G. Prognosis
Jika tidak diobati dengan baik dengan antibiotik oral, gejalanya dapat meningkat dan menyebabkan kebutaan, yang merupakan hasil dari ulkus (luka/iritasi) dan jaringan parut pada kornea. Operasi juga mungkin diperlukan untuk memperbaiki kelainan bentuk kelopak mata.

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN TRACHOMA

A. Pengkajian
1. Anamnesis
Kaji gejala yang dialami klien sesuai dengan geajala yang ditimbulkan, meliputi gatal dan rasa terbakar / sensasi benda asing pada infeksi bakteri akut da infeksi virus, nyeri dan fotofobia, keluhan peningkatan produksi air mata, pada anak – anak dapat disertai dengan demam dan keluhan pada mulut dan tenggorokan. Kaji riwayat detail tentang masalah sekarang dan catat riwayat cedera atau terpajan lingkungan yang tidak bersih. (Indriana N. Isitiqomah, 2004)
2. Pemeriksaan fisik
a. Pengkajian ketajaman mata
Kaji visus klien dan catat derajat pandangan perifer klien karena jika terdapat sekret yang menempel pada kornea dapat menimbulkan kemunduran visus.
b. Kaji rasa nyeri
Terjadi rasa tidak nyaman ringan sampai berat.
c. Kesimetrisan kelopak mata
Terjadi gangguan kesimetrisan kelopak mata akibat timbulnya jaringan parut pada kelopak mata yang berakibat entropen dan trikiasis (inversi bulu mata).


d. Reaksi mata terhadap cahaya / gerakan mata
Timbul fotofobia (sensitif terhadap cahaya) atau blepharospasme (kejang kelopak mata)
e. Kemampuan membuka dan menutup mata
Timbul gangguan penutupan kelopak mata secara efektif.
f. Pemeriksaan fisik (inspeksi)
Infeksi struktur luar mata dan inspeksi kelenjar untuk mengetahui adanya pembengkakan akibat inflamasi. (Brunner dan Suddart, 2001)
3. Pemeriksaan penunjang
Inkulasi klamidia dapat ditemukan pada kerokan konjungtiva yang di pulas dengan giemsa, namun tidak selalu ada. Inklusi ini tampak sebagai massa sitoplasma biru atau ungu gelap yang sangat halus, yang menutupi inti dari sel epitel. Pulasan antibody fluorescein dan tes immuno – assay enzim tersedia dipasaran dan banyak di pakai di klinik laboratorium. Tes bari tu menggantikan pulasan giemsa untuk sediaan hapus konjungtiva dan isolasi agen clamidial dalam biakan sel.
B. Analisa Data
1. Data objectif
 Gatal – gatal
 Nyeri (ringan sampai berat)
 Lakrimasi (mata selalu berair)
 Fotofobia (sensitif terhadap cahaya) atau blepharospasme (kejang kelopak mata)
2. Data subjectif
 Klien mengeluh gatal – gatal pada bagian mata
 Klien mengeluh nyeri pada bagian konjungtiva
 Klien mengeluh matanya mengalami reaksi sensitif terhadap cahaya
 klien mengatakan mengalami reaksi sensitif terhadapcahaya.
C. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan pembengkakan kelenjar getah bening (edema), fotofobia dan inflamasia.
2. Resiko tinggi penularan penyakit pada mata yang lain atau orang lain berhubungan dengan keterbatasan pengetahuan
3. Resiko tinggii cidera berhubungan dengan penurunan lapang pandang.
D. Intervensi Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan pembengkakan kelenjar getah bening (edema), fotofobia dan inflamasia.
Tujuan : nyeri hilang / terkontrol, ketidaknyamanan hilang / terkontrol
Kriteria hasil :
Melaporkan nyeri / ketidaknyamanan tulang terkontrol
Pasien tampak rileks dan tenang
Intervensi :
a. Kaji derajat nyeri
Rasional : untuk mengetahui kemajuan / terjadinya komplikasi.
b. Beri kompres hangat
Rasional : untuk mengurangi nyeri, mempercepat penyembuhan dan membersihkan mata
c. Anjurkan klien menggunakan kacamata hitam pada cahaya kuat
Rasional : cahaya yang kuat dapat menyebabkan rasa tak nyaman.
d. Kolaborasi pemberian analgesik sesuai indikasi
Rasional : untuk mengurangi rasa nyeri.
2. Gangguan penglihatan / persepsi sensori visual berhubungan dengan kerusakan kornea
Tujuan : Penggunaan penglihatan yang optimal
Kriteria hasil :
 Pasien berpartisipasi dalam program pengobatan
 Pasien akan mempertahankan lapang ketajaman penglihatan lebih lanjut.
Intervensi :
a. Kaji derajat / tipe kehilangan penglihatan
Rasional : mengetahui harapan masa depan klien dan pilihan intervensi.
b. Dorong klien untuk mengekspresikan perasaan tentang kehilangan / kemungkinan kehilangan penglihatan.
Rasional : intervensi dini untuk mencegah kebutaan, klien menghadapi kemungkinan / mengalami kehilangan penglihatan sebagian atau total.
c. Tunjukkan pemberian tetes mata, contoh menghitung tetesan, mengikuti jadwal, tidak salah dosis.
Rasional : Mengontrol TIO, mencegah kehilangan penglihatan lebih lanjut
d. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, misalnya agen osmotik sistemik.
Rasional : untuk mengurangi TIO

3. Resiko tinggi cidera berhubungan dengan penurunan lapang pandang dan kebutaan.
Tujuan : peningkatan lapang pandang optimal
Kriteria hasil :
Tidak terjadi cedera.
Intervensi :
a. Bersihkan sekret mata dengan cara benar.
Rasional : sekret mata akan membuat pandangan kabur.
b. Kaji ketajaman penglihatan, catat apakah satu atau dua mata yang terlibat.
Rasional : terjadi penurunan tajam penglihatan akibat sekret mata.
c. Anjurkan pasien menggunakan kaca mata gelap
Rasional : mengurangi fotofobia yang dapat mengganggu penglihatan klien.
d. Perhatikan keluhan penglihatan kabur yang dapat terjadi setelah penggunaan tetes mata dan salep mata
Rasional : membersihkan informasi pada klien agar tidak melakukan aktivitas berbahaya sesaat setelah penggunaan obat mata.



DAFTAR PUSTAKA

Carpenito,Lynda Juall.2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10.Jakarta:EGC
Marlyn,E Doenges.2000.Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3.Jakarta:EGC

ASKEP DEKUBITUS PADA LANSIA

ASKEP DEKUBITUS
PADA LANSIA


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Kita kehilangan sekitar satu gram sel kulit setiap harinya karena gesekan kulit pada baju dan aktivitas higiene yang dilakukan setiap hari seperti mandi.
Dekubitus dapat terjadi pada setiap tahap umur, tetapi hal ini merupakan masalah yang khusus pada lansia. Khsusnya pada klien dengan imobilitas.
Seseorang yang tidak im-mobil yang tidak berbaring ditempat tidur sampai berminggu-minggu tanpa terjadi dekubitus karena dapat berganti posisi beberapa kali dalam sejam. Penggantian posisi ini, biarpun hanya bergeser, sudah cukup untuk mengganti bagian tubuh yang kontak dengan alas tempat tidur.
Sedangkan im-mobilitas hampir menyebabkan dekubitus bila berlangsung lama. Terjadinya ulkus disebabkan ganggual aliran darah setempat, dan juga keadaan umum dari penderita.
Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan dibawah kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat.
Walaupun semua bagian tubuh mengalami dekubitus, bagian bawah dari tubuhlah yang terutama beresiko tinggi dan membutuhkan perhatian khusus.
Area yang biasa terjadi dekubitus adalah tempat diatas tonjolan tulang dan tidak dilindungi oleh cukup dengan lemak sub kutan, misalnya daerah sakrum, daerah trokanter mayor dan spina ischiadica superior anterior, daerah tumit dan siku.
Dekubitus merupakan suatu hal yang serius, dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada penderita lanjut usia. Dinegara-negara maju, prosentase terjadinya dekubitus mencapai sekitar 11% dan terjadi dalam dua minggu pertama dalam perawatan.
Usia lanjut mempunyai potensi besar untuk terjadi dekubitus karena perubahan kulit berkaitan dengan bertambahnya usia antara lain; berkurangnya jaringan lemak subkutan; berkurangnya jaringan kolagen dan elastin; dan menurunnya efesiensi kolateral kapiler pada kulit sehingga kulit menjadi lebih tipis dan rapuh.

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Setelah membuat dan mempresentasikan makalah ini diharapkan mahasiswa mengerti dan mengetahui tentang asuhan keperawatan pada pasien lansia dengan gangguan dekubitus.
2. Tujuan khusus
a. Mahasiswa mengetahui dan memahami definisi dari dekubitus.
b. Mahasiswa mengetahui dan memahami etiologi dekubitus.
c. Mahasiswa mengetahui manifestasi klinis dekubitus
d. Mahasiswa mengetahui patofisiologi dekubitus.
e. Mahasiswa mengetahui dan memahami penatalaksanaan medis dekubitus.
f. Mahasiswa mengetahui dan memahami proses asuhan keperawatan dekubitus mulai dari tahap pengkajian sampai tahap evaluasi.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Dekubitus merupakan nekrosis jaringan local yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan di antara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu lama (National Pressure Ulcer Advisory Panel [NPUAP], 1989a, 1989b).
Sebuah definisi baru telah diajukan di Konferensi Nasional NPUAP ke-4 (1995a).Margolis (1995) menyebutkan “definisi dekubitus adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal akibat dari tekanan eksternal yang berhubungan dengan penonjolan tulang dan tidak sembuh dengan urutan dan waktu biasa. Selanjutnya, gangguan ini terjadi pada individu yang berada di atas kursi atau di atas tempat tidur, sering kali pada inkontinensia dan malnutrisi ataupun individu yang mengalami kesulitan makan sendiri, serta mengalami gangguan tingkat kesadaran.”
Ulkus Dekubitus (Luka akibat penekanan, Ulkus kulit, Bedsores) adalah kerusakan kulit yang terjadi akibat kekurangan aliran darah dan iritasi pada kulit yang menutupi tulang yang menonjol, dimana kulit tersebut mendapatkan tekanan dari tempat tidur, kursi roda, gips, pembidaian atau benda keras lainnya dalam jangka panjang (Anonim, 2009).
Dekubitus sering disebut ulkus dermal / ulkus dekubitus atau luka tekan terjadi akibat tekanan yang sama pada suatu bagian tubuh yang mengganggu sirkulasi (Harnawatiaj, 2008).
Dekubitus adalah Kerusakan lokal dari kulit dan jaringan dibawah kulit yang disebabkan penekanan yang terlalu lama pada area tersebut (Ratna Kalijana, 2008).
Bagian tubuh yang sering mengalami ulkus dekubitus adalah bagian dimana terdapat penonjolan tulang, yaitu bagian siku, tumit, pinggul, pergelangan kaki, bahu, punggung dan kepala bagian belakang. Walaupun semua bagian tubuh beresiko mengalami dekubitus, bagian bawah dari tubuhlah yang terutama beresiko tinggi dan membutuhkan perhatian khusus.
Area yang biasa terjadi dekubitus adalah tempat diatas tonjolan tulang dan tidak dilindungi oleh cukup dengan lemak sub kutan, misalnya daerah sakrum, daerah trokanter mayor dan spina ischiadica superior anterior, daerah tumit dan siku.
Dekubitus merupakan suatu hal yang serius, dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada klien lanjut usia. Di negara-negara maju, prosentase terjadinya dekubitus mencapai sekitar 11% dan terjadi dalam dua minggu pertama dalam perawatan.
Dekubitus dapat terjadi pada setiap tahap umur, tetapi hal ini merupakan masalah yang khusus pada lansia. Khususnya pada klien dengan imobilitas.Usia lanjut mempunyai potensi besar untuk terjadi dekubitus karena perubahan kulit berkaitan dengan bertambahnya usia antara lain:
1. Berkurangnya jaringan lemak subkutan
2. Berkurangnya jaringan kolagen dan elastin
3. Menurunnya efesiensi kolateral kapiler pada kulit sehingga kulit menjadi lebih tipis dan rapuh.

B. Etiologi
1. Faktor Ekstrinsik
a. Tekanan
b. Kelembaban
c. Gesekan
2. Faktor intrinsic
a. Usia
b. Temperatur
c. Nutrisi
3. Adapun factor lainnya adalah :
a. Menurunnya persepsi sensori
b. Immobilisasi, dan
c. Keterbaasan aktivitas
Ketiga faktor ini adalah dampak dari pada lamanya dan intensitas tekanan pada bagian permukaan tulang yang menonjol.

C. Manifestasi klinis dan Komplikasi
a. Tanda cidera awal adalah kemerahan yang tidak menghilang apabila ditekan ibu jari.
b. Pada cidera yang lebih berat dijumpai ulkus dikulit.
c. Dapat timbul rasa nyeri dan tanda-tanda sistemik peradangan, termasuk demam dan peningkatan hitung sel darah putih
d. Dapat terjadi infeksi sebagai akibat dari kelemahan dan perawatan di Rumah Sakit yang berkepanjangan bahkan pada ulkus kecil.

D. Patofisiologi
Tekanan imobilisasi yang lama akan mengakibatkan terjadinya dekubitus, kalau salah satu bagian tubuh berada pada suatu gradient (titik perbedaan antara dua tekanan). Jaringan yang lebih dalam dekat tulang, terutama jaringan otot dengan suplai darah yang baik akan bergeser kearah gradient yang lebih rendah, sementara kulit dipertahankan pada permukaan kontak oleh friksi yang semakin meningkat dengan terdapatnya kelembaban, keadaan ini menyebabkan peregangan dan anggulasi pembuluh darah (mikro sirkulasi) darah yang dalam serta mengalami gaya geser jaringan yang dalam, ini akan menjadi iskemia dan dapat mengalami nekrosis sebelum berlanjut ke kulit.
Immobilisasi/terpancang pada tempat tidurnya secara pasif dan berbaring (lebih dari 2 jam),tekanan daerah sakrum akan mencapai 60-70 mmHg dan daerah tumit mencapai 30-45 mmHg (normal: tekanan daerah pada kapiler berkisar antara 16 mmHg-33 mmHg), Iskemik, nekrosis jaringan kulit selain faktor tegangan, ada faktor lain yaitu: Faktor teregangnya kulit misalnya gerakan meluncur ke bawah pada penderita dengan posisi dengan setengah berbaring. Faktor terlipatnya kulit akibat gesekan badan yang sangat kurus dengan alas tempat tidur, sehingga seakan-akan kulit “tertinggal” dari area tubuh lainnya (Heri Sutanto, 2008).
Tekanan daerah pada kapiler berkisar antara 16 mmHg-33 mmHg. Kulit akan tetap utuh karena sirkulasi darah terjaga, bila tekanan padanya masih berkisar pada batas-batas tersebut. Tetapi sebagai contoh bila seorang penderita immobil/terpancang pada tempat tidurnya secara pasif dan berbaring diatas kasur busa maka tekanan daerah sakrum akan mencapai 60-70 mmHg dan daerah tumit mencapai 30-45 mmHg.
Tekanan akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut terjadi nokrosis jaringan kulit. Percobaan pada binatang didapatkan bahwa sumbatan total pada kapiler masih bersifat reversibel bila kurang dari 2 jam. Seorang yang terpaksa berbaring berminggu-minggu tidak akan mengalami dakubitus selama dapat mengganti posisi beberapa kali perjamnya.
Selain faktor tekanan, ada beberapa faktor mekanik tambahan yang dapat memudahkan terjadinya dekubitus;
• Faktor teregangnya kulit misalnya gerakan meluncur ke bawah pada penderita dengan posisi dengan setengah berbaring.
• Faktor terlipatnya kulit akiab gesekan badan yang sangat kurus dengan alas tempat tidur, sehingga seakan-akan kulit “tertinggal” dari area tubuh lainnya.
Faktor teragannya kulit akibat daya luncur antara tubuh dengan alas tempatnya berbaring akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan setempat.
Keadaan ini terjadi bila penderita immobil, tidak dibaringkan terlentang mendatar, tetapi pada posisi setengah duduk. Ada kecenderungan dari tubuh untuk meluncur kebawah, apalagi keadaannya basah. Sering kali hal ini dicegah dengan memberikan penhalang, misalnya bantal kecil/balok kayu pada kedua telapak kaki. Upaya ini hanya akian mencegah pergerakan dari kulit, yang sekarang terfiksasi dari alas, tetapi rangka tulang tetap cederung maju kedepan. Akibatnya terjadi garis-garis penekanan/peregangan pada jaringan subkutan yang sekan-akan tergunting pada tempat-tempat tertentu, dan akan terjadi penutupan arteriole dan arteri-arteri kecil akibat terlalu teregang bahkan sampai robek. Tenaga menggunting ini disebut Shering Forces.
Sebagai tambahan dari shering forces ini, pergerakan dari tubuh diatas alas tempatnya berbaring, dengan fiksasi kulit pada permukaan alas akan menyebabkan terjadinya lipatan-lipatan kulit (skin folding). Terutama terjadi pada penderita yang kurus dengan kulit yang kendur. Lipatan-lipatan kulit yang terjadi ini dapat menarik/mengacaukan (distorsi) dan menutup pembuluh-pembuluh darah.
Sebagai tambahan dari efek iskemia langsung dari faktor-faktor diatas, masih harus diperhatikan terjadinya kerusakan edotil, penumpukan trombosit dan edema. Semua inidapat menyebabkan nekrosis jarigan akibat lebih terganggunya aliran darah kapiler. Kerusakan endotil juga menyebabkn pembuluh darah mudah rusak bila terkena trauma.

E. Penatalaksanaan Medis
a. Perawatan luka decubitus
b. Terapi fisik, dengan menggunakan pusaran air untuk menghilangkan jaringan yang mati.
c. Terapi obat :
1. Obat antibacterial topical untuk mengontrol pertumbuhan bakteri
2. Antibiotik prupilaksis agar luka tidak terinfeks
d. Terapi diet
Agar terjadi proses penyembuhan luka yang cepat, maka nutrisi harus adekuat yang terdiri dari kalori, protein, vitamin, mineral dan air.
Penatalaksanaan klien dekubitus memerlukan pendekatan holistic yang menggunakan keahlian pelaksana yang berasala dari beberapa disiplin ilmu kesehatan (AHCPR, 1994; Olshansky, 1994)
Gambaran keseluruhan dekubitus akan menjadi dasar pembuatan pohon pengangambilan keputusan yang digunakan untuk menentukan rencana tindakan (AHCPR, 1994, Maklebust dan Siegreen, 1991).

F. Pengelolaan Dekubitus
Pengelolaan dekubitus diawali dengan kewaspadaan untuk mencegah terjadinya dekubitus dengan mengenal penderita risiko tinggi terjadinya dekubitus, misalnya pada penderita yang immobil dan konfusio.
Usaha untuk meremalkan terjadinya dekubitus ini antara lain dengan memakai sistem skor Norton. Skor dibawah 14 menunjukkan adanya risiko tinggi untuk terjadinya dekubitus. Dengan evaluasi skor ini dapat dilihat perkembangan penderita.
Tindakan berikutnya adalan menjaga kebersihan penderita khususnya kulit, dengan memandikan setiap hari. Sesudah keringkan dengan baik lalu digosok dengan lotion, terutama dibagian kulit yang ada pada tonjolan-tonjolan tulang. Sebaiknya diberikan massase untuk melancarkan sirkulasi darah, semua ekskreta/sekreta harus dibersihkan dengan hati-hati agari tidak menyebabkan lecet pada kulit penderita.
Tindakan selanjutnya yang berguna baik untuk pencegahan maupun setelah terjadinya dekubitus adalah:
1. Meningkatkan status kesehatan penderita; umum; memperbaiki dan menjaga keadaan umum penderita, misalnya anemia diatasi, hipoalbuminemia dikoreksi, nutirisi dan hidarasi yang cukup, vitamin (vitamin C) dan mineral (Zn) ditambahkan khusus; coba mengatasi/mengoabati penyakit-penyakit yang ada pada penderita, misalnya DM.
2. Mengurangi/memeratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran darah;
a. Alih posisi/alih baring/tidur selang seling, paling lama tiap dua jam. Keberatan pada cara ini adalah ketergantungan pada tenaga perawat yang kadang-kadang sudah sangat kurang, dan kadang-kadang mengganggu istirahat penderita bahkan menyakitkan.
b. Kasur khusus untuk lebih memambagi rata tekan yang terjadi pada tubuh penderita, misalnya; kasur dengan gelembung tekan udara yang naik turun, kasur air yang temperatur airnya dapat diatur. (keberatan alat canggih ini adalah harganya mahal, perawatannya sendir harus baik dan dapat rusak).
c. Regangan kulit dan lipatan kulit yang menyebabkan sirkulasi darah setempat terganggu, dapat dikurangi antara lain;
• Menjaga posisi penderita, apakah ditidurkan rata pada tempat tidurnya, atau sudah memungkinakan untuk duduk dikursi.
• Bantuan balok penyangga kedua kaki, bantal-bantal kecil utuk menahan tubuh penderita, “kue donat” untuk tumit,
• Diluar negeri sering digunakan kulit domba dengan bulu yang lembut dan tebal sebagai alas tubuh penderita. Begitu tampak kulit yang hiperemis pada tubuh penderita, khsusnya pada tempat-tempat yang sering terjadi dekubitus, semua usaha-usahan diatas dilakukan dengan lebih cermat untuk memperbaiki iskemia yang terjadi, sebab sekali terjadi kerusakan jaringa upaya penyembuhan akan lebih rumit.
Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan stadium dan tindakan medik menyesuaikan apa yang dihadapi:
1. Dekubitus derajat I
Dengan reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis;
kulit yang kemerahan dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan sabun, diberi lotion, kemudian dimassase 2-3 kali/hari.
2. Dekubitus derajat II
Dimana sudah terjadi ulkus yang dangkal; Perawatan luka harus memperhatikan syarat-syarat aseptik dan antiseptik. Daerah bersangkutan digesek dengan es dan dihembus dengan udara hangat bergantian untuk meransang sirkulasi. Dapat diberikan salep topikal, mungkin juga untuk meransang tumbuhnya jaringan muda/granulasi, Penggantian balut dan salep ini jangan terlalu sering karena malahan dapat merusakkan pertumbuhan jaringan yang diharapkan.

3. Dekubitus derajat III
Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus otot dan sering sudah ada infeksi; Usahakan luka selalu bersih dan eksudat disusahakan dapat mengalir keluar. Balut jangan terlalu tebal dan sebaliknya transparan sehingga permeabel untuk masukknya udara/oksigen dan penguapan. Kelembaban luka dijaga tetap basah, karena akan mempermudah regenarasi sel-sel kulit. Jika luka kotor dapat dicuci dengan larutan NaCl fisiologis. Antibiotik sistemik mungkin diperlukan.
4. Dekubitus derajat IV
Dengan perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering pula diserta jaringan nekrotik; Semua langkah-langkah diatas tetap dikerjakan dan jaringan nekrotik yang adal harus dibersihkan, sebab akan menghalangi pertumbuhgan jaringan/epitelisasi.
Beberapa preparat enzim coba diberikan untuk usaha ini, dengan tujuan mengurangi perdarahan, dibanding tindakan bedah yang juga merupakan alternatif lain. Setelah jaringan nekrotik dibuang danluka bersih, penyembuhan luka secara alami dapat diharapkan.
Beberapa usaha mempercepat adalah antara lain dengan memberikan oksigenisasi pada daerah luka, Tindakan dengan ultrasono untuk membuka sumbatan-sumbatan pembuluh darah dan sampai pada transplantasi kulit setempat.
Angka mortalitas dekubitus derajat IV ini dapat mencapai 40%.


BAB III
PROSES ASUHAN KEPERAWATAN PADA
PASIEN DENGAN DEKUBITUS

A. Pengkajian
1. Aktivitas/ istirahat
Tanda : penurunan kekuatan, ketahanan, keterbatasan rentang gerak.pada area yang sakit gangguannya misalnya otot perubahan tunas.
2. Sirkulasi
Tanda : hipoksia, penurunan nadi perifer distal pada ekstremitas yang cidera, vasokontriksi perifer umum dengan kehilangan nadi, kulit putih dan dingin, pembentukan edema jaringan.
3. Eleminasi
Tanda : keluaran urin menurun adalah tidak adanya pada fase darurat, warna mungkin hitam kemerahan , bila terjadi, mengidentifiasi kerusakan otot.
4. Makanan/cairan
Tanda : edema jaringan umum, anoreksia, mual dan muntah.
5. Neurosensori
Gejala : area kebas/kesemutan
6. Pernapasan
Gejala :menurunnya fungsi medulla spinalis, edema medulla, kerusakan neurology, paralysis abdominal dan otot pernapasan.
7. Integritas ego
Gejala : masalah keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan.
Tanda : ansietas, menangis, ketergantungan, mmenarik diri, marah.
8. Keamanan
Tanda : adanya fraktur akibat dilokasi (jatuh, kecelakaan, kontraksi otot tetanik, sampai dengan syok listrik).

B. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan integritas jaringan kulit berhubungan dengan destruksi mekanis jaringan sekunder terhadap tekanan, gesekan dan fraksi.
2. Kerusakan mobilisasi fisik berhubungan dengan pembatasan gerak yang diharuskan, kehilangan control motorik.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan pemasukkan oral,anoreksia.
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemajanan dasar dekubitus, penekanan respons inflamasi.
5. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan di area dekubitus.
C. Intervensi dan Rasional
1. Kerusakan integritas jaringan kulit berhubungan dengan destruksi mekanis jaringan sekunder terhadap tekanan, gesekan dan fraksi.
Kriteria hasil : Menunjukan regenerasi jaringan
Intervensi
a. Terapkan prinsip pencegahan luka dekubitus.
R : prinsip pencegahan luka dekubitus, meliputi mengurangi atau merotasi tekanan dari jaringan lunak.
b. Atur posis pasien senyaman mungkin.
R : meminimalkan terjadinya jaringan yang terkena dekubitus.
c. Balut luka dengan balutan yang mempertahankan kelembaban lingkungan diatas dasar luka.
R : luka yang lembab dapat mempercepat kesembuhan.
2. Kerusakan mobilisasi fisik berhubungan dengan pembatasan gerak yang diharuskan, kehilangan control motorik.
Kriteria hasil :
 Menyatatkan dan menunjukan keinginan berpartisipasi dalam aktivitas
 Menunjukan teknik/perilaku yang memampukan melakukan aktivitas



Intervensi
a. Dukungan mobilisasi ketingkat yang lebih tinggi.
R : gerakan teratur menghilangkan tekanan konsisten diatas tonjolan tulang.
b. Bantu/dorong perawatan diri/kebersihan, seperti mandi.
R : meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi, meningkatkan control pasien dalam situasi dan peningkatan kesehatan lingkungan.
c. Berikan perhatian khusus pada kulit.
R : penelitian menunjukkan bahwa kulit sangat rentan untuk mengalami kerusakan karena konsentrasi berat badan.
d. Dorong dukungan dan bantuan keluarga/orang terdekat pada latihan rentang gerak.
R/memampukan keluarga/orang terdekat untuk aktif dlam perawara pasien dan memberikan terapi lebih konstan/konsisten
e. Dorong partisipasi pasien dalam semua aktivitas sesuai kemapuan individual
R/meningkatkan kemandirian, meningkatkan harga diri,dan membantu proses perbaikan.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemajanan dasar dekubitus, penekanan respons inflamasi.
Kriteria hasil :
 Mengidentifikasi tindakan untuk mencegah/menurunkan risiko infeksi
 Menunjukan teknik, perubahan pola hidup untuk meningkatkan keamanan lingkungan, meningkatan penyembuhan.
Intervensi
a. Gunakan tehnik yang tepat selama mengganti balutan.
R : teknik yang baik mengurangi masuknya mikroorganisme pathogen kedalam luka.
b. Ukur tanda – tanda vital .
R : peningkatan suhu tubuh, takikardia menunjukkan adanya sepsis.
c. Gunakan sarung tangan steril setiap mengganti balutan.
R : setiap ulkus terkontaminasi oleh mikroorganisme yang berbeda, tindakan ini dapat mencegah infeksi.
d. Cuci dasar luka dengan larutan NaCl 0,9 %.
R : Dapat membuang jaringan yang mati pada permukaan kulit dan mengurangi mikroorganisme.
e. Berikan obat antibiotic sesuai indikasi.
R : antibiotic pilihanpada ulkus dekubitus berguna melawan organisme gram negative dan gram positif.
4. Nyeri berhubungan dengan peradangan di area dekubitus.
Kriteria hasil
 Melaporkan nyeri berkurang/terkontrol
 Menunjukan ekspresi waja yang rileks
Intervensi
a. Kaji tingkat nyeri,catat lokasi,karateristik,durasi,dan skala nyeri (0-10)
R/membantu mengkaji kebutuhan untuk intervensi,dan dapat mengidintifikasikan terjadinya komplikasi
b. Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri
R/pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat meningkatkan mekanisme koping
c. Libatkan pasien dlam penentuan jadwal aktivitas ,pengobatan, pemberian obat.
R/meningkatkan rasa control pasien dan kekuatan mekanisme koping
d. Jelaskan prosedur/berikan informasi seiring dengan tepat.
R/mengetahui apa yang diharapkan memberikan kesempatan pada pasien untuk menyiapkan diri dan meningkatkan rasa kontrol
e. Ubah posisi dengan sering dan rentang gerak pasif dan aktif sesuai indikasi
R/gerakan dan latihan menurunkan kekakuan sendi dan kelelahan otot tetapi tipe latihan tergantung pada lokasi dan luas cedera
f. Dorong penggunaan teknik relaksasi,contoh pedoman imajinasi,visualisasi,aktivitas terapeutik
R/membantu pasien untuk istrahat lebih efektif dan memfokuskan kembali perhatian,dapat meningkatkan kemampuan koping, menurunkan nyeri dan ketidaknyamanan.

D. Evaluasi
Pasien dapat mencegah dan mengidentifikasi factor penyebab luka dekubitus; menunjukkan kemajuan penyembuhan.
1. Pasien mempunyai kulit tanpa eritema dan tidak pucat.
2. Pasien menunjukkan peningkatan berat badan dan massa otot.
3. Kulit tidak akan teritasi akibat pemajanan terhadap fekal atau urine drainage.
4. Pasien dapat mengidentifikasi penyebap nyeri dan cara penangulanganya
5. Menunjukkan hasil pembelajaran yang efektif untuk tujuan pemulangan dan perawatan pasien dirumah.

DAFTAR PUSTAKA


Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Keperawatan : Pedoman Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.